AIR merupakan kebutuhan vital bagi kehidupan manusia. Baik dalam rangka memenuhi asupan kecukupan air pada tubuh, ataupun untuk menunjang kebutuhan manusia lainnya. Bukan hanya manusia yang membutuhkan air, makhluk hidup lain pun juga sangat membutuhkannya.

Kita semua sudah mafhum jika Indonesia memiliki dua musim, yakni musim hujan dan musim kemarau. Nah kini beberapa wilayah Indonesia sedang memasuki musim kemarau, khususnya di Jawa Tengah.

Berdasarkan data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Tengah, sebanyak 30 daerah di Jawa Tengah alami kekeringan, dengan 6 kabupaten di antaranya mengalami kekeringan paling parah. Yakni Kabupaten Purbalingga, Wonogiri, Banyumas, Grobogan, Sragen, dan Blora, sebagai mana dikutip dari Tribunjateng.com (9 September 2019).

Akhirnya untuk memenuhi kebutuhan air dalam sehari-hari tak sedikit masyarakat yang rela menempuh jarak berpuluh-puluh kilometer untuk mendapatkan sumber air. Ya, air adalah sumber kehidupan.

Dalam hal ini pemerintah juga tidak menutup mata dengan apa yang dialami rakyatnya saat musim kemarau. Pemerintah gencar mengirimkan air bersih ke beberapa daerah yang terkena dampak kekeringan.Dibuktikan dengan disediakannya pos anggaran untuk droping air bersih tahun ini senilai Rp 320 juta atau 1 ribu tangki untuk seluruh wilayah di Jawa Tengah. Namun bukankah dampak dari krisis air bersih tidak hanya berdampak pada satu sisi saja?

Penulis merangkum beberapa dampak yang ditimbulkan dari krisis air. Pertama masyarakat desa yang mayoritas berprofesi sebagai petani akan menuai sebuah ancaman yakni gagal panen. Atau jika tidak menginginkan hal itu terjadi, para petani harus mau menambah biaya lagi dalam hal membeli air untuk menjaga tanaman-tanamannya. Sehingga petani berpikir dua kali dalam melanjutkan pengelolaan tanamannya.

Kedua melonjaknya kebutuhan pokok sehari-hari. Menurunnya hasil panen menimbulkan pasokan bahan baku menjadikan melonjaknya harga bahan pokok di pasaran menjadi mahal.

Ketiga kesehatan, krisis air bersih berdampak pada pola kebersihan masyarakat. Bagaimana tidak, dalam keadaan musim kemarau seperti saat ini kebutuhan air bersih sangat minim. Akhirnya masyarakat harus bisa mengatur dengan air yang ada, mereka harus pintar membagi kebutuhan air untuk mandi, minum,mencuci dan pemenuhan kebutuhan lainnya. Hingga kesehatan pun di nomor dua kan.

Hal itu harus menjadi perhatian khusus bagi pemerintah, baik pusat maupun daerah. Sebab kondisi seperti ini akan tetap dihadapi dari tahun ke tahun. Upaya antisipasi dampak dari sebuah krisis air (musim kemarau) seyogyanya menjadi tanggungjawab bersama dari semua kalangan.

Perlunya sinergisitas bersama, dari semua bidang yakni pemerintah, ranah pendidikan, kesehatan dan lainnya. Kalau tidak sekarang kapan lagi?

Pemerintah dalam hal ini sebaiknya tidak hanya terfokus pada distribusi air bersih ke daerah-daerah saja. Melainkan juga berupaya untuk mengantisipasi dampak lain yang ditimbulkan dari musim kemarau. Menjaga stabilitas harga bahan pokok, mengupayakan alternatif lain untuk menjamin keberlangsungan pertanian di musim kemarau.

Kendati demikian, yang dibutuhkan juga dari terobosan baru dari ranah keilmuan. Yakni dari beberapa sekolah tinggi yang ada di Indonesia bisa menyumbang pemikiran-pemikiran baru untuk menyelesaikan suatu permasalahan yang ada. Bisa berawal dari edukasi pengelolaan air yang layak untuk kesehatan tubuh. Atau menciptakan alat-alat yang baru atau terbarukan. Bahkan edukasi kepada masyarakat terkait dengan pertanian dengan sistem modern misalnya hidroponik dan lainnya.

Masyarakat pun juga bisa mengambil upaya antisipasi, sebelum datangnya musim kemarau. Bisa melakukan reboisasi di lahan yang kosong, dalam rangka menjaga kecukupan sumber air.  Sangat disayangkan jika sebuah pertumbuhan penduduk yang tinggi tidak di imbangi dengan pengelolaan alam. Jadikan alam yang ramah untuk kehidupan. (ila)

*Penulis merupakan alumni Pondok Pesantren Khozinatul Ulum Blora dan masih berkuliah di Jurusan S1 Perbankan Syariah