RADAR JOGJA – Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat memiliki cara tersendiri dalam mangayubagyo Hari Sumpah Pemuda. Berupa pentas instrumen musik bertajuk Mandalasana untuk Bhinneka. Total ada 12 repertoar lagu daerah dan nasional yang dimainkan  abdi dalem Musikan.

Penghageng Kawedanan Hageng Punokawan (KHP) Kridhomardowo Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Notonegoro berharap semangat Sumpah Pemuda terus ada. Menurutnya, pentas ini adalah sebuah momentum. Semangat utama bagaimana tetap berkarya dan turut memajukan Indonesia.

“Sumpah Pemuda itu semangatnya adalah kebinekaan. Ini yang harus kita jaga bersama-sama sebagai generasi pewaris dan penerus bangsa Indonesia,” ajaknya saat ditemui usai pementasan di Bangsal Mandalasana, Keraton Jogja, kemarin (27/10).

Walau hanya melalui repertoar, Kanjeng Noto meyakini semangat kebinnekaan terwakilkan. Tanpa memandang latar belakang dan perbedaan yang ada. Baginya semangat Indonesia adalah merajut perbedaan yang menjadi pondasi berdirinya NKRI.

Semangat Keraton tak ubahnya dengan semangat NKRI. Mewujudkan persatuan dan kesatuan untuk menjadi bangsa yang lebih maju. Walau diakui masih terdapat konflik-konflik untuk mewujudkan impian. Namun bukan menjadi alasan berhenti berjuang demi Indonesia.

“Walaupun kita berbeda-beda, tetap satu bangsa. Karena dulu membangun negara ini juga berdasarkan perbedaan-perbedaan. Sumpah Pemuda itu yang melatarbelakangi pemuda untuk bersatu dan menjadi cikal bakal sebelum 17 Agustus 1945,” katanya.

Semangat ini tercermin dari setiap repertoar lagu yang dibawakan. Antusiasme pengunjung sudah terlihat sejak lagu Indonesia Raya berkumandang. Tanpa dikomando seluruhnya ikut bernyanyi mengiringi repertoar. Ada pula yang mengepalkan tangan di dada dan sikap hormat.

Momentum khusus seakan bukan pementasan biasa. Kolaborasi apik kembali terjadi saat lagu Bangun Pemudi Pemuda. Dalam kesempatan ini Kanjeng Noto dipercaya langsung sebagai konduktor. Memasuki pertengahan lagu, pengunjung yang hadir turut bernyanyi hingga akhir.

“Kebetulan kami memang mengajak beberapa kelompok paduan suara. Ada dari UGM, SMM, dan SMAN 3 Jogja. Tapi memang tidak formal karena membaur dengan penonton. Ternyata pengunjung ada yang spontan ikut nyanyi,” ujarnya.

Mandalasana untuk Bhinneka hadir dengan kemasan istimewa. Sebelum pementasan para abdi dalem Musikan dikawal dengan sebuah prosesi. Iring-iringan prajurit Keraton turut mengantarkan keluar dari Bangsal Kasatriyan. Begitu pula sebaliknya menjemput ke Bangsal Mandalasana saat pementasan rampung.

Salah seorang siswi Sekolah Menengah Musik (SMM) Agnes Christi Dwi Nanda tak menyangka bisa terlibat dalam pementasan. Bagi siswi kelas X ini, kolaborasi kali ini tidak biasa. Terlebih paduan suara dikemas spontanitas dan luwes.

“Baru kali ini paduan suara tapi konsepnya seperti ini. Biasanya kan di panggung dengan kemasan yang formal. Sangat menyenangkan karena tidak semua orang bisa dapat kesempatan seperti ini,” kesan remaja usia 16 tahun ini. (dwi/laz)