RADAR JOGJA – Bocah-bocah yang tergabung dalam Omah Cangkem belum lama ini menorehkan sejarah baru. Anak asuh Pardiman Djoyonegoro ini mampu mengobati kerinduan warga Numea Mondor, Kaledonia Baru. Walau berkewarganegaraan Prancis, warganya masih memiliki darah keturunan Indonesia.

Bicara seni tentu tak sekadar buah karya manusia semata. Ada beberapa warisan leluhur yang terserap dalam setiap karya. Tumpukan karya ini mampu menjadi jati diri yang kuat. Walau telah pergi jauh dari rumah, tetap melekat.

Semangat ini terlihat dari warga Kaledonia Baru. Kepulauan yang masuk dalam administrasi Negara Prancis ini dihuni oleh warga keturunan Indonesia. Leluhur mereka telah cukup lama menghuni wilayah kepulaian itu. Namun mereka kehilangan jejak rekam seni budaya mulai luntur.

“Kami diundang ke sana oleh Persatuan Masyarakat Indonesia Kaledonia (PMIK). Tujuannya untuk menampilkan wujud-wujud seni, khususnya kesenian Jawa. Sudah berangkat dari 17 sampai 28 Oktober kemarin,” jelas Pardiman.

Pria kelahiran Bantul 7 Agustus 1968 ini menuturkan kisah awal. Yakni  saat wali kota Kaledonia Baru mengunjungi studio Omah Cangkem pertengan 2018. Awalnya hanya melihat ragam seni melalui pementasan. Hingga akhirnya tercetus untuk mengundang ke Kaledonia Baru.

Pardiman tentu menyambut positif tawaran ini. Awalnya hanya tujuh peserta yang berangkat ke Kaledonia. Hingga akhirnya salah seorang peserta rombongan Kaledonia mengajukan kuota tambahan. Alhasil ada 14 bocah dari Omah Cangkem yang berangkat.

“Total dengan pendamping ada 19 orang yang berangkat. Anak-anak yang berangkat itu seusia pelajar SMP. Kami bagi untuk acapella, keroncong, dan gamelan. Ada tujuh repertoar yang kami mainkan,” ceritanya.

Tak ingin setengah-setengah, Pardiman menyiapkan konsep secara matang. Untuk acapella dia menghadirkan dua repertoar. Berjudul Aku Anak Jogja dan Suwe Ora Jamu. Cerita seru tercipta untuk repertoar keroncong.

“Nah, masalahnya untuk lagu keroncong seusia mereka itu belum ada. Kalau campursari kok terlalu dewasa, tapi usia anak-anak juga tidak bocah lagi. Akhirnya kami ciptakan lagu baru berjudul Kelangan Enggok, Banyu Bening dan Wahai Gelombang,” ujarnya.

Ada kisah dan semangat nasionalisme dalam kedua lagu ini. Kelangan Enggok memiliki makna hidup harus selaras dan lebih baik. Tentunya tetap sesuai dengan semangat NKRI. Sementara untuk Banyu Bening memiliki makna tentang harapan dan pikiran yang jernih.

Kisah persahabatan dengan alam tertuang dalam lagu Wahai Gelombang. Cerita dalam lagu ini adalah bagaimana manusia harus selaras dengan alam. Juga menjadikan alam sebagai guru kehidupan. Ini yang menjadi cerminan dan semangat hidup di Indonesia.

Tak terhenti sampai di sini, repertoar gending turut bernyawa. Dua lagu berjudul Sambung Pitutuh dan Dolan-Dolan menjadi bekal. Gending Dolan-Dolan mengajak warga Kaledonia bernostalgia. Mengenalkan beragam keindahan Nusantara melalui permainan gending gamelan.

“Nostalgia dari Sabang sampai Merauke. Lalu Sambung Pitutuh mengajak untuk selalu menyambung persaudaraan. Walau sudah terputus lama, leluhur tetaplah sama,” katanya.

Kedatangan Omah Cangkem seakan mampu menjadi obat rindu. Program Jogja Sister City ini diibaratkan sebuah mesin waktu. Melihat sejarah seni dan budaya para leluhur warga Kaledonia. Walau beberapa masih tertanam hingga saat ini.

“Kalau bahasa mereka itu masih ada yang pakai Jawa Ngoko. Saat ketemu anak-anak itu seperti melihat saudara jauh yang sudah lama tidak bertemu. Benar-benar kangen dan semakin trenyuh saat anak-anak memainkan repertoar,” kisahnya.

Pardiman berlanjut menceritakan hari-hari sebelum dan setelah pementasan. Setibanya di pulau itu, Pardiman disuguhkan sebuah set gamelan lawasan. Ternyata gamelan ini merupakan peninggalan para leluhur.

Berdasarkan cerita warga, gamelan tersebut sudah puluhan tahun tak tersentuh. Alasannya tidak ada penerus hingga generasi berganti. Alhasil gamelan ini hanya sebagai artefak semata. Semuanya berubah saat bocah-bocah Omah Cangkem menyentuh gamelan itu.

Tak hanya gamelan, prosesi adat Jawa juga mulai menipis. Layaknya kejawen, segala prosesi diawali dengan tumpengan nasi kuning. Ternyata ini menjadi daya tarik tersendiri bagi warga Kaledonia. Antusiasme terlihat saat istri Pardiman berburu bumbu racikan di pasar.

“Mereka punya leluhur dan kangen dengan budaya Jawa. Di sana ada gamelan yang sudah 30 tahun tidak dimainkan. Nah saat ditabuh kembali, mereka trenyuh. Apalagi warga yang usianya sudah sepuh karena lama sekali tidak mendengar langsung suara gamelan,” ujarnya.

Waktu terus berjalan, tibalah untuk pulang. Rupanya kepulangan bocah-bocah Omah Cangkem meninggalkan kesedihan tersendiri. Layaknya saudara jauh yang akan berpisah. Semuanya larut dalam kesedihan ini. Bahkan warga dan wali kota setempat mengantarkan hingga pintu bandara.

“Anak-anak ini dianggap seperti matahari bagi mereka. Beberapa ada yang ingin bertemu lagi. Bahkan ada yang berniat datang ke Jogjakarta langsung. Pokoknya ingin bertemu dan nanggap lagi,” katanya.

Cerita ini seakan menjadi bukti bahwa budaya Indonesia sangatlah kuat. Terbukti dengan kerinduan mendalam para warga di luar Indonesia. Bagaimana warisan leluhur tetap dijaga dan dikenang. Walau sudah beralih kewarganegaraan dan tidak hidup di Indonesia.

Semangat inilah yang ingin Pardiman turunkan kepada penggawa Omah Cangkem. Bagaimana tetap konsisten menjaga kesenian dan budaya Indonesia. Walau ada penyesuaian zaman, namun tetap mempertahankan akar jati diri.

“Apresiasi yang sangat luar biasa, dan harusnya ini juga terlihat di Indonesia. Saya merasa tersanjung saat mendapat pakaian kerja wali kota. Saya dipandang setara pejabat wali kota dengan julukan wali kota budaya,” ungkapnya. (dwi/laz)