RADAR JOGJA – Peristiwa gerhana matahari sempat terlihat di langit Jogjakarta. Namun fenomena alam ini tidak terlihat sempurna. Berbeda dengan wilayah lain yang mampu membentuk gerhana matahari cincin secara utuh.
Kepala Stasiun Geofisika BMKG Jogjakarta Agus Riyanto menuturkan fenomena alam ini adalah fase wajar. Berupa terhalangnya cahaya matahari oleh bulan. Menyebabkan sebagian hingga seluruh cahaya matahari tidak sampai ke bumi.
“Kejadian ini merupakan salah satu dari akibat dinamisnya pergerakan matahari, bumi dan bulan. Bertepatan pula dengan fase bulan baru yang terlihat di Jogjakarta,” jelasnya saat ditemui di Kantor Stage BMKG Jogjakarta, Kamis (26/12).
Jogjakarta, lanjutnya, mengalami tiga fase gerhana matahari. Diawali pada pukul 10.56 WIB, berlanjut dengan fase puncak 12.47 WIB dan berakhir pukul 14.28 WIB. Durasi terjadinya gerhana matahari di Jogjakarta selama 3 jam 45 menit.
Khusus untuk Jogjakarta, magnitudo gerhana terentang antara 0,734 di Sleman hingga 0,726 di Wonosari, Gunungkidul. Letak inilah yang mengakibatkan Jogjakarta hanya mengalami gerhana matahari sebagian. Berbeda dengan sejumlah wilayah yang berada di sisi utara khatulistiwa.
Bertepatan dengan kemunculan gerhana, matahari juga diselimuti halo. Berupa cincin pelangi yang mengitari matahari. Fenomena ini terjadi akibat adanya konsentrasi uap air di udara. Alhasil membias dan membentuk halo sun.
“Menurut catatan yang kami miliki, gerhana matahari cincin akan terjadi lagi kurang lebih 11 tahun kemudian. Bisa dibilang juga sebagai fenomena alam yang langka. Kalau halo bisa terjadi selama konsentrasi uap air di udara tinggi,” katanya.
Bertepatan dengan fenomena alam ini, Stage Geofisika BMKG menggelar pengamatan gerhana bersama. Memanfaatkan teleksop Vixen yang terhubung dengan Digital Single Lens Reflector (DSLR). Hasil pencitraan tersebut langsung terhubung dengan komputer jinjing.
Hasil pengamatan langsung ini juga tersaji di portal milik BMKG. Tak hanya Jogjakarta, pengamatan juga berlangsung di 21 titik pengamatan lainnya. Fenomena alam ini turut menjadi sarana edukasi mengenai fase gerhana matahari.
“Teleksop milik kami ini melakukan tracking otomatis keberadaan matahari. Ada perekaman lalu streaming unggah internet,” katanya.
Agus mengimbau agar warga tidak menatap langsung matahari dengan mata telanjang. Perlu filter khusus atau filter matahari untuk menikmati fenomena alam ini. Tujuannya agar kornea mata tidak rusak. Bahkan dampak terburuk adalah terjadi kebutaan.
“Menatap ke arah matahari langsung dampaknya tentu akan merusak kornea bahkan mengakibatkan kebutaan. Disetiap titik pengamatan juga sudah disediakan semacam kacamata khusus. Atau bisa gunakan filter matahari untuk mengurangi intensitas cahaya matahari,” katanya. (dwi/tif)