RADAR JOGJA – Teror ular kobra terjadi di Sleman. Ular berbisa tersebut masuk ke area permukiman.
Dalam kurun waktu tiga bulan terakhir, di wilayah Bumi Sembada sudah ada lebih dari tujuh ular kobra ditangkap karena memasuki permukiman. ”Ada yang masih anakan kobra. Ada juga yang sudah berukuran (panjang) satu meter lebih,” jelas Inspektur Pemadam Kebakaran Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Sleman Heru Sapto Priyono saat ditemui, Kamis(26/12).
Ular kobra tersebut ada yang kembali dilepasliarkan. Ada juga yang terpaksa dibunuh. “(Ular dibunuh) karena dianggap sudah membahayakan kalau dilepaskan,” ujar Heru.
Dia menjelaskan, pelepasliaran kobra dilakukan untuk kobra yang masih anaka. Lokasi pelepasliaran di areal persawahan yang jauh dari permukiman warga. Lokasi persawahan dipilih loksu yang banyak tikusnya. “Lokasinya sudah disurvei teman-teman dan pasti aman,” terangnya.
Lebih lanjut, Heru menjelaskan, lokasi yang kerap ditemukan ular kobra yakni di kompleks perumahan yang berdekatan dengan sawah atau sungai. Itu didasarkan penemuan kobra di Kecamatan Ngemplak, Kecamatan Sleman, dan Kecamatan Godean beberapa waktu lalu. Selain itu, juga ditemukan ular di kompleks perumahan dn masuk kantor.
Hingga kini belum ada laporan korban yang digigit ular. “Yang di Ngemplak kemarin, anakan kobra bersembunyi di sepatu anak. Hampir kegigit tapi anaknya langsung lari. Lokasinya di Puri Domas,” ungkapnya.
Teror kobra ini, kata dia, baru terjadi pada 2019 ini. Tahun lalu, pihaknya kebanyakan melakukan evakuasi untuk jenis ular piton. Oleh karenanya, dia mengakui belum banyak personelnya yang tangkas menangani ular berbisa seperti kobra. “Untuk saat ini kami baru melakukan pelatihan-pelatihan,” bebernya.
Selain itu, ada kesulitan lain dalam penanganan kobra. Yakni, melacak keberadaan ular. Oleh karenanya, dia mengimbau masyarakat yang mengetahui ada ular kobra berkeliaran untuk segera melapor ke petugas.
Selain kobra, pihakya juga telah menangkap dua ular jenis badotan macan atau ular tikus dan piton. Rencananya, ular tersebut tidak akan dilepaskan karena akan dijadikan objek pelatihan penanganan hewan.
Kemunculan ular kobra ini juga menjadi perhatian banyak pihak. Sekretaris Kampung Satwa Hanif Kurniawan mengatakan, pada Oktober hingga Januari memang merupakan musim tetas reptil. “Jadi, ini sebenarnya hal yang wajar,” kata Hanif.
Terkait kemunculan kobra di permukiman, dia menjelaskan, hal itu lantaran permukiman itu dulunya sebelum habitat kobra. Apalagi, kawasan perumahan itu dulunya sawah yang banyak ditumbuhi pepohonan. “Jadi, memang habitatnya di situ dan ini jadi indikator jika alamnya bagus,” terangnya.
Untuk menghindari masuknya kobra ke rumah warga, dia menyarankan agar warga membersihkan rumah secara rutin. Selain itu, jika ditemukan kobra, dia meminta diusir menggunakan sapu. Sebisa mungkin jangan sampai dibunuh.
Untuk penanganan pertama gigitan kobra, Hanif menyarankan agar mengikuti standar WHO. Yakni, dengan cara imobilisasi atau membuat bagian tubuh yang digigit ular itu tidak bergerak.
Dia memaparkan, cara termudah ialah menggunakan dua bilah kayu, bambu atau kardus, serta bahan-bahan lain yang bersifat rigid atau kaku. Ada dua metode imobilisasi. Yakni, metode imobilisasi dengan elastic band (perban elastis). Metode ini khusus untuk kasus gigitan ular dengan bisa neurotoksin yang kuat.
”Imobilisasi untuk neurotoksin yang sifatnya cepat menyebabkan gagal napas dan gagal jantung dengan hitungan detik hingga menit, disarankan menggunakan elastic band,” jelasnya.
Elastic band, menurut dia, harus dilakukan dengan tenaga terlatih seperti perawat. Artinya, tindakan ini tidak disarankan untuk dilakukan oleh masyarakat awam. Imobilisasi dilakukan dalam kurun waktu 24 sampai 48 jam.
Selanjutnya, ada metode imobilisasi yang tidak menggunakan elastic band. Menurutnya, metode ini digunakan untuk menangani pasien-pasien yang tergigit ular yang sifatnya hematotoksin sehingga menyebabkan pembengkakan.
”Kalau di-elastic band, justru membuat kondisinya lebih jelek. Contohnya (saat digigit) ular tanah, ular kobra, king kobra. Itu bengkak dan menimbulkan sebuah pembengkakan atau nekrosis. Meskipun kobra dan king kobra sebenarnya juga ada sifat neurotoksin-nya. Tetapi, karena ada pembekakan, jadi tidak bisa menggunakan elastic band,” jelasnya.
Setelah dilakukan penanganan awal tersebut. Dia meminta agar korban segera dilarikan ke rumah sakit. Namun, dia mengingatkan agar dokter tidak sembarangan dalam memberi anti bisa. “Kalau penangananannga tidak benar, korban justru tidak bisa terselamatkan,” tandasnya. (har/amd/tif)