RADAR JOGJA – Korban aksi jalanan atau klithih terus berjatuhan. Terakhir adalah Fatur Nizar Rakadio, 16, pelajar kelas X SMK 2 Depok, Mrican, Sleman. Ia meninggal dunia setelah berjuang selama 28 hari di RSUP Dr Sardjito, Kamis malam (9/1).

Radar Jogja pada Minggu (12/1) bertandang ke rumah duka di Dusun Ponggok I, Trimulyo, Jetis, Bantul. Deddy Indrihartono, ayah Dio -panggilan Fatur Nizar Rakadio- menceritakan kronologis kejadian yang menimpa anaknya.

Selepas ujian, Dio bersama teman-temannya pergi ke pantai. Mereka ingin refreshing. Sebelumnya sekitar pukul 12.00, Dio mengirim SMS  kepada ibunya untuk menyiapkan hidangan. Sebab, teman-temannya akan bertandang ke rumah.

Namun, dua jam kemudian Deddy mendapat informasi Dio mengalami kecelakaan. Ia kemudian menyusul ke RS Nur Hidayah, tempat anaknya dirawat. Ia diberitahu jika Dio mengalami kecelakaan akibat diserang. “Ditendang orang, katanya begitu,” katanya.

Dari informasi yang ia kumpulkan, Deddy bererita ketika Dio dan teman-temannya hendak pulang, dilempari cat oleh orang tidak dikenal. Penyerang itu kemudian berbalik arah dan menendang ban motor korban. Dio pun terjatuh, demikian juga teman-temannya, karena penyerangan dilakukan terhadap tiga sampai empat motor.

“Dia nggak punya musuh. Terus yang lain ditendang juga motornya sama rombongan itu. Ada yang retak tangannya. Ada yang dijahit,” lanjut Deddy.

Dio menjadi korban yang paling parah. Sesaat setelah terjatuh, dikatakan Deddy, anaknya masih sadar. Dio meminta untuk didiamkan selama 15-20 menit karena masih syok. Setelah ditunggu lama, Dio ternyata tidak mampu menggerakkan tubuhnya, hingga akhirnya ia dibawa ke rumah sakit menggunakan pikap. “Lukanya nggak begitu dalam,” katanya.

Saat bertemu di rumah sakit, Dio mengatakan ia sudah tidak dapat merasakan anggota tubuhnya. Deddy sempat berpikir anaknya hanya mengalami patah tulang biasa. Dan, hanya kakinya yang tidak dapat digerakkan. “Sama tanganku nggak iso obahe yah,” kata Deddy menirukan Dio.

Ia kemudian menanyakan kondisi anaknya kepada dokter. Dokter kemudian mengonfirmasi bahwa Dio mengalami patah tulang di leher, punggung, dan tulang ekor. Dio mengalami lumpuh total. “Jatuhnya fatal. Kebetulan dia jatuh itu pas-pasan dengan kendaraan lain. Jadi kendaran lain itu nggak tahu nabrak anak saya atau tidak,” katanya.

Dio selanjutnya dirujuk ke RS Bethesda, kemudian dilanjutkan ke RSUP Dr Sardjito. “Dalam waktu satu hari dicek sama dokter dari Sardjito untuk dilakukan tindakan selanjutnya. Mau dioperasi,” kisahnya.

Sudah empat kali Dio direncanakan untuk dioperasi. Akan tetapi selalu mengalami kendala. Seperti suhu tubuhnya naik, sulit mengalami pengentalan darah, dan penyumbatan selang bantu. “Dioperasi pun tahapannya juga panjang. Risikonya juga panjang. Sampai kemarin nggak ada. Itu betul-betul perjuangan dia,” katanya.

Perjuangan Dio yang mampu bertahan selama 28 hari menimbulkan kebanggaan bagi Deddy. Dokter di RSUP Sardjito juga turut bangga. “Karena trauma di leher itu kebanyakan nggak sampai hari ketujuh. Perjuangan dia sampai 28 hari itu. Saya bangganya sudah minta ampun,” ungkapnya.

Sejak hari pertama Dio dirawat di RS teman-temannya selalu hadir. Dio dirawat di ruang Pediatric Intensive Care Unit (PICU) RSUP Dr Sardjito. Mereka tidak diperbolekan masuk. Mereka berinteraksi dengan Dio dari luar ruangan melalui video call atas seizin dokter.

“Hari pertama sekolah, pulang sekolah ke rumah sakit. Teman-temannya pada nangis semua. Ada bagian yang kurang di kelas itu,” Deddy, haru.  “Tiap hari selalu kasih support,”  tambah Budiastuti, ibu Dio.

Sesekali Deddy mengucap mata. Ia mengucapkan terima kasih kepada dokter yang telah merawat Dio. Ia juga berterima kasih kepada pihak kepolisian yang telah membantunya menemukan pelaku. Kendati masih simpang siur. “Saya nggak pernah tanya, tapi diinformasikan,”  ujarnya  dengan suara mulai bergetar.

Deddy mengaku ia masih terluka. Akan tetapi ia mencoba menerima keadaan. “Anak saya sudah memaafkan pelakunya. Kita sebagai orang tua, kalau kita nggak maafin. Nggak menutup kemungkinan kalau orang tua pelaku ketemu saya untuk minta maaf, monggo. Namanya silaturahmi kita nggak boleh melarang orang untuk silaturahmi,”  katanya.

Dio sendiri aktif dalam ektrakurikuler Paskibraka. Kemarin siang rumah duka ramai oleh kehadiran teman-teman Dio di Paskibraka. Mereka bernyanyi, bercengkerama, dan bercanda.

Salah satunya teman Dio, Dito Herlambang. Ia bercerita, mereka akrab sejak bergabung di Parkibraka. Ia kerap bertukar cerita dan tertawa bersama. Ia mengatakan, Dio adalah sosok yang humoris.

“Dio itu lucu. Baik banget, nggak pernah marah. Gampang akrab. Jadi denger dia nggak ada, kami semua merasa kehilangan,” ujar  Dito lirih

Dito mengaku membesuk Dio 3-4 kali dalam seminggu. Dan ketika kabar duka datang, ia menjadi sulit tidur. Tapi, ia mengingat pesan Dio yang tidak mau teman-temannya bersedih karenanya.

Teman Dio lainnya, Zahra mengaku berkenalan dengan almarhum karena pernah satu kelompok dalam fun game. “Dari situ kenal terus ngobrol-ngobrol. Lucu banget. Orangnya semangat terus,” kenangnya.

Zahra menambahkan Dio adalah tempat bercerita. Dio kerap menyemangatinya ketika dirundung masalah. Dikatakan pula Dio merupakan sosok yang tegar. Karena tidak mau orang lain ikut terbebani oleh masalahnya.

Mereka merasa sangat kehilangan tawa Dio. “Bener-bener dia yang bikin ketawa terus. Terus kita semua ini deket juga gara-gara dia. Kita beda jurusan. Nggak ada yang satu kelas sama Dio,” lanjut Zahra. (cr/laz)