RADAR JOGJA – Institute of International Studies Universitas Gadjah Mada (IIS UGM) membahas isu penting terkait sengketa Perairan Natuna antara Indonesia dan Tiongkok (China).

Peneliti IIS Indrawan Jatmika menyampaikan, pemerintah Indonesia cenderung bergerak terlalu lambat dan kurang responsif dalam menanggapi aksi yang dilakukan China di Laut Natuna Utara. Kapal nelayan mereka masuk ke perairan Natuna yang berdasarkan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) merupakan teritorial Indonesia.

”China kerap menggunakan latar historisnya, yaitu nine dash lines sebagai landasannya dalam mengklaim wilayah Laut China Selatan. Padahal nine dash lines ini jelas bertentangan dengan UNCLOS dan bersinggungan dengan batas ZEE Indonesia,” jelasnya dalam pers rilis yang dikirim Kamis (16/1).

Menurutnya, langkah yang diambil Indonesia saat ini cenderung mengobati dibandingkan mencegah.  Sebab, kasus isu di Laut China Selatan sudah bergulir ketika awal dekade 2010 terutama pada 2013-2014 ketika China mulai memiliki power akibat perkembangan ekonomi yang berkembang pesat.

Sejak awal pemerintahannya pada 2014, Jokowi merasa kasus Laut China Selatan bukanlah urusan Indonesia sehingga tidak perlu campur tangan Indonesia. Hal ini kemudian menjadi mindset yang terbangun dan berlanjut hingga saat ini.

”Sehingga ketika isu seperti ini terjadi, pemerintah cenderung tidak siap dan belum memiliki strategi untuk menanganinya. Yang terjadi malah saling lempar tanggung jawab antar kementerian, dimana masing-masing kementerian memiliki posisinya masing-masing dalam mengatasi isu ini,” ungkapnya.

Dengan Indonesia yang cenderung mengabaikan isu ini, maka Indonesia kehilangan kesempatan untuk menjadi pemimpin ASEAN. Padahal, sejak awal berdirinya ASEAN tahun 1967, Indonesia selalu dianggap sebagai pemimpin ASEAN. Hal ini cukup disayangkan menurut Indrawan.

”Indonesia seharusnya dapat memimpin dan melakukan konsolidasi secara multilateral ke negaranegara anggota ASEAN untuk menentukan langkah dan sikap bersama untuk merespons Tiongkok. Ini sekaligus membawa isu ini ke berbagai forum internasional atas nama ASEAN,”  tuturnya.

Secara domestik, Indonesia juga perlu lebih tegas dan siap dalam mengatasi isu ini. Dengan mengirimkan militer ke Natuna atau membangun pangkalan militer ke Natuna bukan berarti tantangan perang dari Indonesia. Namun lebih menunjukkan kesiapan Indonesia untuk menindak pelanggar kedaulatan wilayah Indonesia.

Dosen Ilmu Hubungan Internasional UGM sekaligus pakar kajian politik dan keamanan Asia Tenggara Randy Wirasta Nandyatama mengatakan, kasus ini menjadi penting karena kapal nelayan dijaga oleh penjaga pantai yang menurut UNCLOS adalah paramilitary.

Sejalan dengan yang disampaikan Indrawan sebelumnya, respons Indonesia dinilai kurang terkoordinir. Berbagai lembaga dan institusi yang terlibat tidak memiliki keseragaman respons terhadap isu ini. Sehingga yang dapat dilakukan adalah koordinasi yang lebih serius dan membuat upaya diplomasi mempertahankan perairan Natuna lebih kuat dan terarah.

”Indonesia selama ini masih mengabaikan historical fishing rights China, sehingga Indonesia perlu lebih mendalami landasan dan alasan neara tersebut melakukan intervensi di Natuna. Diperlukan juga adanya opsi kesepakatan diantara kedua negara dimana kedua negara dapat bekerja sama dan memanfaatkan sumber daya secara bersamaan,” tuturnya. (ila)