RADAR JOGJA – Merosotnya jumlah ikan wader pari di tahun 2012 membuat Bambang Retno Aji mengembangkan teknologi budidaya ikan itu. Budi daya yang dilakukan peneliti dari Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada (UGM) yang tergabung dalam Aquatic Research tersebut diklaim menjadi pertama dan satu-satunya di DIJ.
Memiliki nama latin rasbora lateristriata, wader pari biasa dikonsumsi sebagai camilan maupun lauk. Namun, tingginya permintaan pasar membuat ikan wader dieksploitasi secara masif di alam dan mengancam keberadaannya. Terlebih reproduksi yang hanya satu kali dalam satu musim, membuat ikan wader semakin jarang ditemukan.
Melihat kondisi ini, Bambang mulai mencari solusi untuk menjaga kelestariannya dengan memanfaatkan potensi ekonomi. Sehingga, dipilihlah pengembangan dan implementasi strategi budi daya dengan memasukkan sentuhan teknologi di dalamnya. “Teknologi pembudidayaan dilakukan di laboratorium dan nantinya bisa dilakukan oleh masyarakat luas,” jelas Bambang belum lama ini (4/2).
Pengembangan strategi budaya dilakukan sejak 2014 silam. Pemijahan, pembibitan dan pembuahan dilakukan di laboratorium. Budi daya skala masal selanjutnya akan dilakukan di kolam luar ruangan. Alat yang dikembangkan, khususnya pemijahan, dirancang dapat digunakan di dalam dan luar ruangan.
Dengan kondisi yang mudah diatur, pemijahan bisa dilakukan setiap waktu. Terdiri atas rak pemijahan, akuarium utama, pemijahan dan filter, serta sistem sirkulasi debit air yang dicirikan. Ditambah dengan ijuk sebagai media ikan bertelur.
Pemijagan dilakukan pada ruangan tertutup dengan suhu ruangan 25 sampai 30 derajat celcius. Kualitas oksigen terlarut pada kisara 6-8, dengan pH netral. Sedangkan untuk periode cahaya dengan siklus terang selama 14 jam dan 10 jam sisanya siklus gelap. “Pemijahan dilakukan pada sore hari sekitar pukul 16.00,” ungkap Bambang.
Dengan teknologi itu, wader pari diklaim mampu bereproduksi selama dua minggu sekali. Dengan catatan, wader pari harus diberikan pakan yang tinggi protein. Rekayasa dari teknologi yang dikembangkan juga mampu menghasilkan 500 butir telur dalam satu kali pembuahan. Untuk selanjutnya akan ditetaskan, dipelihara, dan dibudidayakan.
Indukan dari telur yang didapatkan, memiliki sifat berbeda dari ikan yang ada alam liar. Pada anakan pertama, sifat ikan menjadi tidak agresif dan mudah beradaptasi. Sedangkan untuk generasi dua dan tiga, memiliki sifat jinak dan mudah untuk bertelur.
Saat ini pihaknya tengah bekerjasama dengan petani lokal atau gabungan di wilayah Kulonprogo, Sleman, dan Gunungkidul. Hasil dari wader pari itu telah diolah menjadi berbagai macam makanan dengan kerja sama bersama UMKM setempat.
Selain itu, kerja sama juga dilakukan secara intensif dengan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) DIJ sampai tahun 2025. Tercatat 20 indukan juga telah disebar di wilayah DKP DIJ. Selanjutnya, pembudidayaan dilakukan di wilayah Sleman, Bantul, dan Gunungkidul untuk melihat dari karakteristik lingkungan yang berbeda. “Jika di tiga tempat berhasil, bisa dibudidayakan di luar DIJ,” tandas Bambang. (eno/laz)