RADAR JOGJA – Serba keterbatasan bukan berarti tak bisa berkreasi. Inilah yang coba dibuktikan oleh Eko Sugeng. Pria berusia 34 tahun ini aktif sebagai barista di Cupable Café. Tempat nongkrong ini berada dibawah kepengelolaan Pusat Rehabilitasi Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum (Yakkum), Ngaglik, Sleman.
Cupable merupakan akronim dari kalimat cup for empowering person with disability. Ya, sosok Eko memiliki nilai lebih. Kedua tangannya terpaksa diamputasi karena kecelakaan kerja medio 2002 lalu.
“Waktu itu sedang memasang antena televisi. Tidak memperhatikan kalau menyenggol kabel listrik di atap rumah. Saya kehilangan dua lengan, karena medis bilang sudah enggak mungkin dipertahankan waktu itu,” jelas pria asli Pekalongan, Jawa Tengah ini, Senin (17/2).
Pasca kejadian merupakan momentum berat bagi pria kelahiran 26 September 1985 ini. Baginya, musuh terbesar adalah dirinya sendiri. Eko muda kerap emosi selama menjalani hidup. Dia mengakui tingkat emosinya kala itu kerap naik turun.
Eko sempat merasa menjadi sosok yang sangat tak berguna. Untuk beraktivitas dia harus mengandalkan uluran tangan. Merasa frustasi, labilnya emosi seakan sudah menjadi sahabat dekatnya. Berulang kali dia marah tanpa sebab yang tak jelas.
“Karena nggak bisa kayak dulu, sangat tergantung dengan orang lain. Kadang diejek, dibully, terus sama teman-teman malu, akhirnya mempengaruhi juga secara psikis,” ujarnya.
Berawal dari sinilah muncul rekomendasi. Salah seorang kerabatnya meminta Eko bergabung dengan Pusat Rehabilitasi Yakkum. Tepatnya 2004 menjadi titik baru baginya. Untuk menjadi sosok yang baru dengan semangat hidup yang tinggi.
Di tempat ini, Eko benar-benar belajar dari nol. Mulai dari memenuhi kebutuhan pribadi. Seperti mengenakan pakaian, makan, mencuci, dan lain sebagainya. Hingga proses pemulihan psikologi dan interaksi dengan lingkungan.
“Selalu didampingi psikolog untuk penerimaan diri. Beda dengan disabilitas bawaan, kondisi saya tidak dari kecil (lahir). Ada kecenderungan kurang bisa menerima. Baik dari diri sendiri maupun pandangan orang kepada saya,” katanya.
Psikis Eko perlahan pulih dan bangkit. Bapak satu anak ini memutuskan untuk merampungkan pendidikannya di program Diploma III di Sekolah Tinggi Bahasa Asing (STBA) LIA Jogjakarta. Jenjang pendidikan ini dia raih dari beasiswa Yakkum.
Pintu interaksi semakin terbuka semenjak bergabung dengan Yakkum. Eko tertarik mendalami ilmu meracik kopi. Berawal dari kecintaanya terhadap kopi. Kala itu dirinya juga sering berbincang dengan crew barista Cupable Café.
“Karena sering ke sini, saya diajari oleh Pak Banu (manajemen Cupable café lama). Belajar nyeduh kopi, awalnya saya ragu karena kondisi saya saat itu. Tapi, dengan motivasi dan bimbingan beliau, akhirnya saya coba nyeduh kopi,” kenangnya.
Tak mudah tentunya, terlebih alat penyeduh memiliki kerumitan tersendiri. Selain sudutnya yang belum ramah disabilitas juga lempengan logam. Eko harus mencari sudut ternyaman agar proses meracik bisa tuntas.
Ilmu yang dia dapat terus berkembang. Dari pengetahuan dasar dia mulai mendapatkan ilmu terapan. Seperti mengenal robusta dan arabika. Selanjutnya menyortir kopi untuk diroasting hingga tahapan menyeduh kopi, buat espreso, cappucino dan latte.
“Awalnya bekerja paruh waktu sebagai barista di Cupable Café. Lalu ikut pelatihan Barista Inklusi yang diinisiasi Yakkum, NGO dari Asian Foundation, dan Pemerintah Australia. Diajari bagaimana kopi itu ditanam, dirawat, dipanen. Sekarang sudah bekerja full time,” katanya.
Kemampuan ini tak hanya pemanis semata. Keseriusan Eko terbukti dengan adanya sertifikasi. Berkat kemampuannya, Eko lolos sertifikasi barista dari Badan Ekonomi Kreatif (Berkraf). Artinya kemampuannya telah teruji.
“Sekarang diminta bantu pelatihan barista inklusi. Kedepan pingin buat alat sendiri. Tentunya yang bisa membuat nyaman saat meracik kopi. Sekarang sudah ada satu, rangkaian besi untuk menjaga basket filter tetap stabil saat bubuk kopi dipadatkan dengan tamper,” ujarnya.
Eko ternyata bukan sosok yang cepat puas. Ke depann dia juga ingin memperdalam ilmu meracik kopi. Saat ini dia tengah fokus berkreasi dengan latte art. Selain itu juga memperdalam teknik seduh V60. Menurutnya inovasi sangatlah penting untuk tetap berkreasi.
“V60 itu kan ada tekniknya, bisa bermain ukuran grinder, suhu air atau gramasi. Bagi saya tidak ada yang tidak mungkin selama mau terus berusaha. Kekurangan bukan jadi penghalang untuk bisa berkarya. Harus terus berusaha, syukur-syukur bisa membuat orang lain termotivasi,” katanya. (dwi/tif)