Komplikasi prematuritas dan berat lahir rendah saat ini menjadi penyebab utama kematian bayi baru lahir di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Pada November 2015, organisasi kesehatan dunia WHO mengeluarkan rekomendasi untuk perawatan bayi premature. Di dalamnya termasuk Perawatan Metode Kanguru (PMK) atau Kangaroo Mother Care (KMC) yang didefinisikan sebagai perawatan bayi prematur dengan cara kontak kulit ke kulit. Antara bayi dengan ibu dan menyusui eksklusif atau menyusui dengan ASI.
Analisis kematian bayi prematur dari tinjauan Cochrane 2014 (11 uji coba terkontrol acak, atau RCT) menunjukkan adanya penurunan angka kematian bayi prematur sebesar 33 persen pada PMK dibandingkan perawatan neonatal konvensional. Sedangkan metaanalisis oleh Boundy pada 2016 (16 penelitian) menunjukkan penurunan mortalitas sebesar 23 persen pada PMK dibandingkan dengan perawatan neonatal konvensional.
Selain mortalitas, tinjauan Cochrane menemukan adanya penurunan yang signifikan pada angka kejadian hipotermia, infeksi nosokomial, sepsis, dan lama perawatan di rumah sakit. Serta peningkatan pemberian ASI eklusif, perlekatan, dan ukuran pertumbuhan bayi. Termasuk kenaikan berat, panjang, dan lingkar kepala.
Metaanalisis Boundy tahun 2016 menunjukkan adanya penurunan secara signifikan kejadian sepsis pada bayi baru lahir (neonatal), hipotermia, hipoglikemia, nyeri, laju pernafasan, disertai dengan peningkatan pemberian ASI eksklusif, saturasi oksigen, suhu, dan lingkar kepala.
Pernyataan Konsensus Internasional terbaru (WHO,2015) tentang Perawatan Metode Kanguru (PMK) untuk bayi prematur dan berat badan rendah, sekali lagi menyoroti pentingnya intervensi PMK untuk mengurangi angka kematian bayi dan kecacatan bayi baru lahir secara global. Meningkatkan kesadaran akan pentingnya PMK di semua seting kesehatan global adalah strategi kunci kesehatan masyarakat untuk mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan. Terutama target untuk menurunkan kematian bayi baru lahir, yang seringkali berhubungan dengan prematuritas.
Sebagaimana telah kita ketahui, periode pascakelahiran merupakan fase kritis perkembangan ibu dan bayi, serta transisi penting antara kehidupan janin dan bayi. Dari trimester ketiga, lingkungan dan pengalaman bayi menjadi penting bagi perkembangan otak sebagai proses genetika. Harapan biologis bayi saat lahir dan selama masa pascakelahiran adalah kedekatan langsung dengan sang ibu, termasuk kontak kulit ke kulit, kedekatan fisik, tatapan kembali dan vokalisasi, bau ibu, dan menyusui.
Dengan kontak kulit-ke-kulit, perilaku bawaan dirangsang guna memotivasi bayi untuk mencari susu ibu.
Kestabilan fisiologis lebih cepat terbentuk pada bayi yang tetap dekat dengan ibunya dibandingkan dengan mereka yang berpisah, meletakkan fondasi untuk kesehatan emosional dan mental yang positif.
Hal penting yang juga perlu diperhatikan jika bayi lahir prematur dan memerlukan rawat inap adalah PMK dapat memberikan perlindungan terhadap tiga tantangan utama yang dapat dialami oleh setiap bayi premature. Yaitu perawatan yang terpisah dari ibunya, stres lingkungan, dan prosedur medis. Pada posisi PMK, sistem saraf parasimpatik bayi diaktifkan oleh oksitosin, sehingga menghasilkan persepsi bahwa lingkungan “aman”.
Penelitian lain menunjukkan bahwa manfaat PMK dapat bertahan seumur hidup. Penggunaan PMK yang telah meluas sebagai “praktik terbaik” untuk meningkatkan “periode pascakelahiran fisiologis normal”, disorot oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2015. Ketika itu WHO mengeluarkan tiga rekomendasi, di antaranya,
Pertama, perawatan metode kanguru untuk perawatan rutin bayi baru lahir dengan berat 2.000 gram atau kurang saat lahir, dan harus dimulai di fasilitas layanan kesehatan segera setelah bayi baru lahir yang secara klinis stabil.
Kedua, bayi baru lahir dengan berat badan 2.000 gram atau kurang saat lahir harus diberikan sedekat mungkin dengan Perawatan metode kangguru kontinu (terus menerus).
Ketiga, perawatan metode kanguru intermiten (sebentar-sebentar) lebih direkomendasikan untuk bayi baru lahir dengan berat 2.000 gram atau kurang. Dibandingkan dengan perawatan konvensional jika perawatan metode kanguru terus menerus tidak memungkinkan.
Penelitian Charpak, dkk (2017) menunjukkan, efek PMK terhadap IQ masih bertahan sampai 20 tahun kemudian, sekalipun pada individu yang paling rapuh. Selain itu, orang tua yang menerapkan PMK lebih protektif dalam mengasuh tercermin dari berkurangnya absensi sekolah dan berkurangnya hiperaktif, agresivitas, eksternalisasi, dan perilaku penyimpangan sosial pada orang dewasa muda. Neuroimaging menunjukkan volume nukleus kaudatus kiri lebih besar pada kelompok PMK.
Agar PMK dapat diimplementasikan dan ditingkatkan secara lebih luas, pergeseran paradigma perlu dilakukan untuk meninggalkan praktik perawatan rutin pada periode pascakelahiran awal yang melibatkan pemisahan ibu dan bayi, menuju model perawatan tanpa paksaan “zero-separation“. Pergeseran ini direkomendasikan oleh World Association for Infant Mental Health, American Academy of Pediatrics and WHO. Pendukung perspektif ini setuju bahwa strategi ini akan menghasilkan perawatan perinatal yang lebih manusiawi. PMK dapat sangat penting bagi bayi dengan berat lahir prematur dan rendah di tempat dengan keterbatasan sumber daya, seperti yang terlihat di negara-negara seperti Malawi, Mali, Rwanda, dan Uganda.
Penggunaan PMK secara tepat waktu, aman, efektif, efisien, adil, dan berpusat pada orangtua memenuhi definisi WHO tentang perawatan berkualitas tinggi. Manfaat fisiologis, psikososial, kemanusiaan dan finansial jangka pendek dan panjang diharapkan dapat dirasakan bagi individu, profesional dan sistem kesehatan yang menerapkan PMK dalam skala besar.(*/yog/mg1)