SLEMAN-Labuhan ageng Merapi melengkapi kesakralan Jumenengan Dalem Sri Sultan Hamengku Buwono X . Labuhan Merapi dipusatkan di Dusun Kinahrejo, Umbulharjo, Cangkringan. Diawali dengan arak-arakan gunungan dan uba rampe yang dibawa abdi dalem Keraton Jogja menuju kantor Kecamatan Cangkringan. Kemudian diteruskan menuju petilasan Mbah Marijan di Kinahrejo.
Gunungan dan uba rampe labuhan diterima Juru Kunci Merapi Mas Lurah Suraksosihono. Ritual labuhan siang kemarin diakhiri dengan pembagian isi gunungan yang berupa hasil bumi. Labuhan dilanjutkan pagi ini dengan membawa uba rampe Keraton Jogja menuju Bangsal Srimanganti di lereng Merapi.
“Labuhan kali ini lebih istimewa karena bertepatan dengan Tahun Dal. Labuhan ageng yang diperingati tiap sewindu (delapan tahun) sekali,” ujar Mas Asih, sapaan akrab Mas Lurah Suraksosihono.
Nah, sesuatu yang membedakan labuhan alit dan ageng adalah uba rampe-nya. Secara umum uba rampe yang dilabuh berupa sinjang limar, sinjang cangkring, semekan gadhung, semekan gadhung melathi, semekan bangun tulak, kampuh polengciut, dhesthar daramuluk, peningset hudaraga,seswangen 10 biji, seloratus lisah konyoh satu buntal, dan yotro tindih. Turut dilabuh kembang setaman, nasi tumpeng, ingkung, dan serundeng. Khusus labuhan ageng, uba rampe ditambah kambil watangan (pelana kuda). Kambil watangan ini sebagai simbol leluhur zaman dulu yang suka menunggang kuda sebagai kendaraan.
Mas Asih mengatakan, upacara labuhan merupakan wujud syukur terhadap Tuhan, sekaligus bertujuan memohon perlindungan dan keselamatan bagi seluruh warga Jogjakarta.
Sebagaimana diketahui, tradisi turun-temurun itu merupakan dhawuh Raja Keraton Jogja sejak era Sultan Hamengku Buwono I (Panembahan Senopati). Tradisi itu bermula dari kesanggupan raja untuk “mengirim” sesaji kepada Eyang Sapu Jagat yang menjadi penguasa Merapi. Janji itu selalu diperingati setiap tahun sampai sekarang. (ita/yog/ong)