SUASANA adat Jawa terasa kental dengan hiasan janur kuning melengkung di Kantor Kelurahan Patehan, Kecamatan Kraton, Kota Jogja, Rabu (18/7). Alunan gamelan dan suara merdu sinden terdengar syahdu. Tampak beberapa orang berpakaian surjan atau kebaya lengkap layaknya di hajatan pernikahan. Tapi bukan. Itulah upacara mitoni dan tedak siten. Acara itu digelar Dinas Kebudayaan (Disbud) Kota Jogja sebagai bagian upaya pelestarian adat dan tradisi. “Supaya (adat dan tradisi, Red) tetap menjadi suatu nilai bagi perkembangan budaya,” ujar Kepala Bidang Adat dan Tradisi Disbud Kota Jogja Tri Sotya Atmi.

Melihat tantangan zaman yang semakin tinggi, upacara adat seperti mitoni dan tedak siten diharapkan tetap dilaksanakan masyarakat.

Acara ini dihadiri warga Patehan yang sebagian besar orang tua. Itu dimaksudkan supaya mereka mewariskan tradisi itu kepada anak dan cucu.

Budayawan Angger Sukisno turut mendampingi prosesi upacara. Menurutnya, mitoni dan tedak siten merupakan bagian dari pemaknaan daur hidup manusia.

Mulai lahir, tumbuh, hingga mati. “Masyarakat Jawa lantas membuat suatu upacara sebagai bentuk syukur atas anugerah Yang Maha Kuasa,” jelasnya.

Mitoni adalah upacara untuk memperingati kehamilan anak pertama yang memasuki bulan ketujuh. Dengan uba rampe yang dulu disebut sajen. Sekarang sebagai sajian yang sarat makna. “Bukan bertendensi untuk syirik dan tahayul,” katanya.

“Dulu, sebelum ada tulisan, berdoa itu diwujudkan dengan benda sebagai simbol,” tambah Angger.

Beberapa benda itu, salah satunya tebu. Bermakna anteping kalbu (kemantapan hati). Lalu janur yang berarti jannah dan nur (surga dan cahaya). Kemudian apem, berasal dari bahasa Arab afuum yang berarti ampunan. Dan masih banyak lagi uba rampe lain yang juga memiliki makna kehidupan. Misalnya, woh-wohan (buah-buahan) yang berarti wohing katresnan (buah cinta), atau ketupat yang dibelah dan diisi abon dipadukan dengan clorot. Ini melambangkan lingga dan yoni atau laki-laki dan perempuan. “Kalau makan jenang procot dan dawet itu agar kelahiran bayi bisa lancar,” ujarnya.

Sedangkan Tedak Siten untuk memperingati seorang anak ketika pertama kali menapakkan kakinya di bumi. Di usia sekitar delapan bulan. Dituntun orang tuanya, sang anak menapakkan kakinya ke atas jadah tujuh warna menuju anak tangga dari bambu. Jadah dari ketan yang lengket melambangkan harapan agar si anak dapat lekat dengan alamnya. “Warna-warni jadah itu melambangkan kalau bocah kan ada unsur api, angin, air, dan sebagainya,” tutur Angger.

Setelah itu, anak dimasukkan di dalam kurungan bambu yang di dalamnya terdapat benda-benda yang melambangkan profesi. Misalnya stetoskop, mobil-mobilan, uang, alat tulis, dan sebagainya. Dengan sendirinya anak akan memilih benda yang disukai. Terkandung makna cita-cita si anak kelak sesuai benda yang dipilih. “Kalau anak ambil uang ya semoga rezekinya lancar. Tetapi orang tua tetap harus mendorongnya,” jelasnya. (din/yog/mg1)