SAYA ikut penasaran: apa penyebab jatuhnya pesawat Lion itu. Kok terhempas begitu saja ke laut. Di utara Karawang Senin (29/10) lalu.
Tapi biarlah para ahli yang menganalisis. Kita sulit menyalahkan pesawat: pesawatnya baru. Sulit menyalahkan pengamanan bandara: tidak ada indikasi teroris. Sulit menyalahkan petugas darat: tidak ada indikasi kelebihan beban. Kelebihan jumlah penumpang. Atau kelebihan bagasi. Sulit menyalahkan pilot: tidak ada indikasi narkoba. Atau kurang istirahat. Atau bunuh diri karena putus asa.
Mungkin ini sebuah sunatullah manajemen: ketika sebuah perusahaan berkembang begitu pesatnya. Tumbuh begitu meroketnya.
Semua pengusaha kagum pada Lion. Yang baru dapat izin operasi tahun 2000.
Dalam 18 tahun begitu hebatnya: mengalahkan semua perusahaan penerbangan Indonesia. Pun mengalahkan Garuda yang milik negara.
Bahkan sudah mengembangkan diri ke luar negeri: Malaysia, Thailand, dan India. Kabarnya sedang siap-siap bikin Lion di Nigeria. Sudah pula mengembangkan rute internasional.
Yang juga fenomenal adalah: pertambahan armada pesawatnya. Begitu fantastisnya: membeli pesawat seperti membeli sepeda motor.
Tahun 2011 membeli 275 Boeing 737. Hanya dalam satu kontrak. Sampai disaksikan Presiden Amerika Barack Obama.
Membeli Airbus 320 pun dalam jumlah ratusan. Demikian juga saat membeli pesawat berbaling-baling ATR 70. Jumlahnya serba fantastis. Lionlah pembeli terbesar kedua Boeing. Perusahaan Indonesia ini.
Seperti tidak mikir uang. Padahal pendapatannya rupiah. Harus bayar dalam dolar. Saya sulit membayangkan betapa besar kenaikan pembayaran Lion: saat rupiah terus melemah begini.
Dari segi pengembangan bisnis selalu saja mengagumkan. Padahal, saat Lion memulai, Anda mungkin sudah lupa: hanya menggunakan lima pesawat sewaan dari Russia: Yakovlev Yak 42D. Saya belum sempat merasakan naik pesawat jenis itu. Lion sudah langsung tancap gas: masuk era Boeing 737.
Bagaimana di sisi pengembangan manajemennya? Bisakah mengimbanginya? Pengembangan manajemen sepenuhnya ‘masalah pengembangan manusia’.
Manusia sering sulit dibentuk secepat membentuk boneka. Misalnya, bagaimana cara cepat mengatasi kekurangan pilotnya. Bagaimana dengan kilat menyiapkan tim pemeliharaannya. Bagaimana percepatan sistem pendidikan dan latihannya. Apalagi pesawat yang dibeli selalu baru. Termasuk baru bidang teknologinya. Dan bagaimana mengontrol ketepatan jadwalnya.
Semua bermuara di manusia. Di problem manajemen itu. Kalau saja Lion perusahaan rokok mungkin tidak terlalu besar risikonya. Tapi Lion itu perusahaan penerbangan: keselamatan penumpang jadi taruhannya.
Itulah sebabnya di sebuah perusahaan penerbangan susunan direksinya berbeda. Harus ada direktur bidang keselamatan. Memang hak sepenuhnya pemegang saham untuk menunjuk seorang direktur. Tapi di perusahaan penerbangan direktur keselamatan harus disetujui pemerintah. Dalam hal ini dirjen perhubungan udara. Pemegang saham tidak boleh mengangkat sembarang orang. Harus yang memenuhi begitu banyak kreteria. Yang ditetapkan pemerintah.
Pemerintah harus menolak calon direksi yang tidak memenuhi syarat. Izin penerbangan tidak bisa diberikan kalau direktur keselamatannya tidak memenuhi syarat.
Perusahaan penerbangan sama dengan bank. Yang harus punya direktur bidang risiko. Yang komisarisnya harus sepersetujuan OJK.
Semua perusahaan boleh berkembang pesat. Tapi untuk penerbangan perkembangan tidak sebebas perusahaan lain.
Saya sepenuhnya setuju dengan pendapat ini: pelatihan terus menerus diperlukan untuk teknologi cockpit yang juga terus berubah.
Lion ditakdirkan serba fenomenal: pertumbuhan bisnisnya, keparahan keterlambatan jadwalnya, dan kini jumlah kecelakaannya. (yog/rg/mo1)
Sumber: disway.id