JOGJA – Pembangunan sarana dan prasarana untuk penyandang disabilitas dianggap belum berguna secara optimal. Terbukti dari hasil survei yang dilakukan Organisasi Harapan Indonesia (OHANA) Jogjakarta dan Center for Improving Qualified Activity in Life of People with Disability (CIQAL).

“Kemarin kami (OHANA dan CIQAL) sudah melakukan survey. Hasilnya masih banyak fasilitas dan pembangunan untuk warga inklusi yang belum optimal,” ujar perwakilan dari CIQAL Nuning Suryatiningsih saat pertemuan di ruang transit DPRD DIJ Kamis (13/12).

Hasil survey tersebut pun diberi angka satu sampai tiga. Dengan kriteria secara urut yakni tidak akses, akses potensial, dan akses. “Dari skala tersebut, hasilnya masih ada di angka dua. Artinya baru beberapa fasilitas yang berpotensi aksesibel,” ujar Nuning.

Ada 12 usulan yang diajukan OHANA dan CIQAL. Mulai dari pelibatan semua pihak dalam proses perancangan dan pembangunan aksesibilitas di DIJ. Ada pula usulan workshop berkelanjutan baik internal maupun eksternal pelayan publik di DIJ. Hingga mendorong Jogja Aplikasi yang modern dan aksesibel.

Beberapa perwakilan penyandang disabilitas seperti tuna daksa, tuna rungu, hingga tuna netra turut menyampaikan keluhan. Fasilitas di Jalan Malioboro misalnya, dianggap belum sepenuhnya memberi kenyamanan. Itu dari segi fisik. Sedangkan dari segi non-fisik yakni meliputi ketersediaan informasi serta sikap para pelayan publik dan pembuat kebijakan. “Masih banyak yang belum bisa terbuka dan menerima kondisi warga inklusi,” ujar Nuning.

Sedang Penyuluh Sosial Dinsos DIJ Sumartono mengatakan, meski masalah fasilitas bukan wewenang pihaknya namun aspirasi masyarakat ditampung. Dia pun mengatakan, pelayanan Dinsos terkait masyarakat inklusi hingga saat ini berupa panti rehabilitasi yang ada di Pundong Bantul.

Sedang anggota Komisi C DPRD DIJ Huda Tri Yudiana turut prihatin atas kurang optimalnya sarana dan prasarana disabilitas. “Inilah pentingnya komunikasi seperti audiensi,” katanya.

Fasilitas fisik yang belum optimal yakni ramp di shelter Trans Jogja yang terlalu tinggi. Guiding block yang sudah mulai hilang serta warnanya yang kurang tepat. Yakni bukan kuning, melainkan silver.

Sedangkan terkait non-fisik yaitu berupa informasi yang tidak tepat pada running text di dalam bus Trans Jogja. Sikap driver bus yang belum terbuka. Serta minimnya keterangan teks dalam huruf braile. (Cr9/fn)