Peninggalan nenek moyang harus diuri-uri atau dilestarikan. Hal itu yang melatarbelakangi Komunitas Aksara Kawi (Taksaka) untuk menggelar kegiatan pelatihan aksara Jawa kuno atau kawi. Kegiatan komunitas ini merambah hingga Magelang

FRIETQI SURYAWAN, Magelang

Jika di Jogja kegiatan itu digelar di Museum Sonobudoyo, di Magelang diadakan di Museum Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Magelang, kompleks eks Kantor Karesidenan Kedu.  Menurut anggota Komunitas Taksaka, Nugroho Wibisono, 32, pelatihan dilakukan sebulan sekali pada hari Minggu. Bahkan terkadang dilakukan outing class  atau jalan-jalan ke tempat-tempat yang berbau budaya.

“Pelatihan gratis, kalau outing class bisa sampai 50-an orang. Biaya semua dari kami dan berasal dari membuat suvenir-suvenir atau kaos yang nantinya dibelikan buku kamus bahasa Jawa. Atau bisa juga untuk kebutuhan-kebutuhan pelaksanaan,” katanya kemarin.

Pelatihan itu ada kelas untuk anak-anak, di mana saat ini sudah ada satu kelas, berisi 15 anak yang sudah lancar menulis Jawa, khususnya Hanacaraka. Hal ini tidak lepas dari komunitas yang tak ingin kemampuannya membaca aksara Jawa kuno atau kawi hanya untuk diri sendiri. Mereka pun membagikan ilmunya kepada orang lain, terutama anak-anak muda yang berminat.

“Program ini awalnya pelatihan di Sidoarjo. Kok tidak banyak orang yang tahu. Dari keprihatinan ini akhirnya kami mengajak Pak Gunawan sebagai pelatih aksara Jawa kuno dan setiap diadakan kegiatan banyak yang tahu karena kamki posting di media sosial,” tuturnya.

Respons bagus di Sidoarjo membuat dia ingin hal serupa di Magelang. Gayung pun bersambut dengan respons yang juga positif. “Mulanya tidak banyak yang tahu, lalu kami promosikan lewat medsos hingga mulai banyak yang tahu. Kalau yang di dalam ruangan pesertanya memang tidak sebanyak saat di luar ruangan, yang bisa sampai 50-an peserta,” jelasnya.

Pelatih Aksara Jawa Gunawan Agung Sambada mengaku ikut melatih dalam kegiatan ini demi kejayaan nusantara di bidang bahasa. Juga rasa keprihatinan terhadap anak-anak muda masa kini yang nyaris tidak mengenal Hanacaraka. Padahal, aksara ini merupakan warisan budaya bangsa.

“Saya penjual miniatur yang kemudian bergabung di grup media sosial dan sering membahas temuan-temuan peninggalan zaman dulu dengan aksara Jawa kuno yang kental. Peninggalan ini kadang bertuliskan aksara Jawa kuno lengkap, tapi seringnya tidak lengkap,”  ungkapnya.

Selain di Magelang, alumnus Universitas Gadjah Mada (UGM) jurusan  Antropologi ini juga kerap mengisi pelatihan di Museum Tantular Sidoarjo dan Museum Sonobudoyo Jogja. Ia bertekad terus melatih siapa pun yang ingin belajar aksara Jawa kuno.

“Saya harap siapa pun dengan latar belakang apa pun bisa tertarik dengan aksara Jawa kuno ini,l dan ikut melestarikannya demi kejayaan bangsa,” tandasnya.

Ika Dewi Retno Sari, 48, salah seorang peserta pelatihan tertarik belajar aksara Jawa kuno karena ingin menguasai warisan budaya asli bangsa ini. Selain juga karena memang berprofesi sebagai guru sejarah di Semarang, sehingga penting untuk menguasainya.

“Sangat penting belajar menulis huruf asli Indonesia ini untuk dapat mengetahui sejarah bangsa. Juga agar dapat mengajarkan anak didik saya tentang sejarah aksara yang pernah membuat bangsa Indonesia ini jaya di masa lalu,” ujar perempuan yang sudah mengikuti pelatihan ini tiga kali. (laz/tif)