SLEMAN – Peternakan babi milik kakak beradik Sutasno, 60, dan Suparsih, 58, keduanya warga Seyegan, Sleman diprotes warga Desa Tirtoadi, Mlati dan Sidomoyo, Godean.

Tak tahan dengan dampaknya, puluhan warga dua desa tersebut menggeruduk kandang babi yang terletak di Dusun Pundong 5, Tirtoadi, Mlati. Mereka menuding kandang bagi tersebut sebagai biang pencemaran lingkungan. Kotoran babi juga menimbulkan bau tak sedap. Karena itu mereka mendesak pemilik untuk menghentikan operasional kandang babi.

Bambang Eko, 47, warga Dusun Simping, Sidomoyo, mengungkapkan, peternakan babi itu sudah beroperasi sejak puluhan tahun lalu. “Kalau 40 tahun sudah ada itu peternakannya,” katanya, Rabu (27/2).

Sejak saat itu juga warga dua desa tersebut mengalami polusi udara. Dari bau yang ditimbulkan oleh kandang babi. Kendati demikian, dulu warga tak pernah protes. Alasannya, populasi babi waktu itu tak sebanyak sekarang. Warga pun memakluminya.

Sedangkan saat ini ada ratusan babi. Pencemaran lingkungan yang ditimbulkan pun diklaim lebih parah. Apalagi lokasi kandang berada persis di pinggir atas Sungai Kontheng. Kotoran babi langsung dibuang ke aliran sungai. Tanpa diolah terlebih dahulu. Itulah yang mengakibatkan air sungai tercemar. “Dampaknya ada warga yang terserang penyakit kulit,” klaimnya.

Bambang menegaskan, keberadaan Sungai Kontheng memiliki arti penting bagi masyarakat setempat. Sungai itu masih dimanfaatkan untuk mencuci, mandi, bahkan pengairan ikan. Ada pula yang menambang pasir di situ.

Soal polusi udara, menurut Bambang, warga Dusun Simping paling merasakan dampaknya. Dialami tak kurang 130 kepala keluarga. Namun selama ini warga telah bersabar. Warga menyarankan pemilik kandang babi untuk membuat sarana pengolahan limbah atau septic tank. Si pemilik kandang ternyata tak mengindahkan imbauan warga setempat.

“Belum lama ini kami sudah memprotesnya. Tapi sampai sekarang nyatanya tak kunjung ada (septic tank, Red),” ucapnya.

Warga yang sudah terlanjur emosi lantas ngeluruk ke kandang itu dan meminta pemiliknya untuk menutup usaha. Selamanya. Mereka memberikan batas waktu hingga tiga bulan ke depan. Atau sampai 27 Mei mendatang. Jika pemilik tak juga menutup kandang tersebut, warga akan menempuh jalur hukum.

“Tadi (kemarin) pemilik kandang sudah membuat surat pernyataan di atas materai,” katanya.

Sementara itu, Sutasno mengaku hanya bisa pasrah. Menghadapi puluhan warga yang protes dan mendatangi kandang babinya. Semula dia minta tenggat waktu enam bulan. Untuk menutup kandangnya. Waktu setengah tahun akan digunakannya untuk menjual seluruh ternaknya.

“Kalau hanya tiga bulan itu akan berat (untuk menjual seluruh babi, Red),” dalihnya.

Sutasno mengaku ada sekitar 150 babi di kandang ternak miliknya.
Selain mencemari lingkungan, peternakan babi itu ternyata tak berizin. Sutasno tidak bisa menunjukkan dokumen legalitasnya. Dia beralasan saat mengurus izin lingkungan selalu menemui jalan buntu.

“Saya ada izin, tapi hanya surat kekancingan dari keraton. Karena tanah yang kami pakai adalah SG (Sultanaat Grond),” katanya.

Sutasno juga berdalih belum lama mengakuisisi peternakan itu. Menurutnya, peternakan babi itu merupakan usaha keluarga turun-temurun. “Dulu dari orang tua kami yang memulai peternakan itu,”akunya.

Peternakan babi tersebut terdiri belasan kandang. Tersebar di tiga lokasi yang jaraknya tak terlalu berjauhan. (har/yog/riz)