SLEMAN- Ujian nasional (unas) masih menjadi fokus perhatian Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sleman di masa sidang I 2019. Sekretaris Komisi D DPRD Sleman Arif Kurniawan SAg menilai sejauh ini kesiapan fisik pelaksanaan unas berbasis komputer sudah semakin baik. Meskipun ketersediaan jumlah perangkat komputer belum merata di setiap sekolah. Arif menilai kondisi ini cukup wajar. Mengingat tak semua sekolah punya kemampuan untuk pengadaan komputer secara mandiri.
“Kami sudah berhitung agar sekolah yang belum cukup komputer bisa dicukupi oleh pemerintah daerah untuk pengadaannya. Juga proktornya,” ujar Arif Minggu (24/3).
Kecupukan jumlah komputer sekolah cukup krusial. Ini sekaligus untuk memotong gelombang pelaksanaan unas yang terlalu panjang. Menurut Arif, ada beberapa sekolah yang jumlah komputernya terbatas. Tak seimbang dengan jumlah peserta unasnya. Ada pula sekolah yang tak memiliki ruangan yang cukup. Untuk menampung peserta unas sesuai jumlah rombongan belajar (rombel).
Maksudnya, kapasitas ruang yang tersedia sangat kecil. Sehingga terjadi penumpukan siswa. Karena ruang yang tersedia tak bisa menampung satu rombel peserta unas untuk sekali jalan. Konsekuensinya peserta unas harus dibagi menjadi beberapa gelombang. Sekadar diketahui, lanjut Arif, untuk tingkat SMP setiap rombel rata-rata berjumlah 32 siswa. Sedangkan tiap sekolah rata-rata memiliki sedikitnya lima rombel.
Sementara ruang komputer hanya bisa menampung kurang lebih 100 perangkat. Dengan begitu pelaksanaan unas setidaknya harus dua gelombang atau lebih.
Hal ini bisa menimbulkan persoalan baru. Arif berpendapat, siswa yang menjalani unas di gelombang kedua atau ketiga bisa terganggu psikologisnya. Apalagi saat hari sudah menginjak siang atau sore. “Mengerjakan ujian itu paling fresh ya pagi. Lebih tenang,” ucap sosok asal Dusun Botokan, RT 003/RW 020, Sendangrejo, Minggir.
“Makanya jumlah komputer dan ruang ujian harus diperbanyak. Semakin banyak ruang, gelombang unas bisa dipangkas. Syukur cukup satu gelombang,” sambung politikus Partai Amanat Nasional ini.
Di sisi lain, ungkap Arif, ada sekolah yang belum punya cukup komputer bukan karena tak mampu pengadaan sendiri. Tapi sengaja menjalin kerja sama dengan sekolah lain dalam pelaksanaan unas. Dengan harapan bisa dapat input positif dari sekolah yang ditumpangi. Sambil untuk promosi. “Menurut saya ini win-win solution. Nggak masalah, boleh-boleh saja,” kata pria kelahiran Ngawi, 9 Agustus 1973.
Lebih lanjut, Arif mengatakan, porsi dana pendidikan pada APBD Sleman 2019 sudah lebih dari target minimal 20 persen. Sekitar 23 persen dari total APBD sebesar Rp 2,6 triliun lebih. Menurut Arif, berapapun alokasi biaya pendidikan akan selalu kurang. Dia mengibaratkan untuk investasi jangka panjang.
Investasi yang tak bisa dihitung secara spontan. Demi sistem pendidikan yang lebih baik. Sehingga mendapatkan out come yang lebih baik pula.
Hal lain di bidang pendidikan persoalan zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB). Komisi D mendukung penuh ketentuan zonasi. Terlebih sudah ada aturan pusat yang mengampunya. Yang tujuan utamanya untuk pemerataan kualitas pendidikan.
Arif memaklumi jika sistem zonasi membuat sebagian masyarakat merasa kurang nyaman. Karena kebijakan itu relatif baru. Dan sedikit beda dengan ketentuan sebelumnya. Biasanya anak dengan nilai unas bagus akan mendapatkan sekolah yang sejajar dengan kompetensinya. Melalui sistem zonasi situasi tersebut tak selalu bisa terwujud. Karena siswa baru lebih diutamakan dari sekitar sekolah terkait.
“Dampaknya, sebagian siswa berprestasi nglokro. Karena tak diterima di sekolah favorit. Semangat belajar anak pun menurun. Ya, ini dampak negatif sistem zonasi,” bebernya.
Dampak lain, tak sedikit siswa menolak sekolah negeri di dalam zonasi berdasarkan tempat domisilinya. Mereka akhirnya memilih sekolah swasta. Arif memandang hal ini sebagai dampak positif bagi sekolah swasta. Sekolah swasta berkualitas jadi laris manis. Sebaliknya, sekolah favorit tak bisa menolak calon siswa baru terdekat. Meski nilai mereka sebenarnya tak masuk kualifikasi.
Namun sekolah favorit tak perlu khawatir. Seiring waktu berjalan kualitas pendidikan di Sleman pasti akan membaik secara merata. Dengan begitu kompetensi siswa maupun sekolah akan lebih baik. Tak lagi ada kesan jomplang. Sekolah yang dulunya sering kekurangan siswa pun tak akan terjadi lagi.
Arif optimistis, rasa tak nyaman yang dialami orang tua siswa lambat laun akan hilang. Ke depan respons masyarakat tentang sistem zonasi akan lebih baik.
Kendati demikian, Komisi D DPRD Sleman mengusulkan agar bukan hanya siswa baru yang dizonasi. Tapi juga para guru. Jangan sampai ada guru berkualitas menumpuk di sekolah-sekolah yang dinilai favorit. Ke depan guru-guru tersebut harus disebar secara merata. Demi mendongkrak kualitas sekolah-sekolah lain. Langkah ini sekaligus sebagai upaya pemerataan sumber daya tenaga pendidik.
Kombinasi antara sistem dan sumber daya manusia (SDM) akan menentukan kualitas pendidikan ke depannya. Sistem pendidikan yang baik harus diimbangi dengan kualitas SDM yang mumpuni.
Dalam hal itu kepala sekolah punya peran sentral. Untuk memajukan sekolah yang dipimpinnya. Kepala sekolah harus bisa nge-drive para guru agar “lari” lebih kencang. Menyesuaikan dengan kondisi zaman, kualitas peserta didik, dan sistem pendidikan yang baru. (*/yog/tif)