SLEMAN – Pemilihan kepala desa (Pilkades) dengan sistem konvensional kerap menimbulkan polemik di masyarakat. Hasil yang diperoleh sering kali tidak memuaskan semua pihak. Bahkan rawan menimbulkan konflik sosial maupun perpecahan antarwarga. Terlebih jika si pemenang terindikasi telah bertindak curang atau inkonstitusional.

Itulah yang mendorong Komisi A Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Sleman berupaya membuat sistem pilkades bisa lebih baik, transparan, efektif, efisien, dan minim konflik. Yaitu dengan sistem e-voting.

“Kalau e-voting ini proses pilkades bisa lebih kredibel. Selain juga mengikuti perkembangan zaman,” ujar Ketua Komisi A DPRD Sleman Nuryata Rabu(27/3).

Politikus asal Desa Wukirsari, Cangkringan, itu menjelaskan, pelaksanaan pilkades dengan e-voting lebih hemat biaya. Karena tak lagi menggunakan kertas. Selain butuh biaya besar, perhitungan surat suara menggunakan kertas jauh lebih lama. Juga kerap menimbulkan konflik. Baik di internal tim pemenangan salah satu calon kades atau antarpendukung masing-masing kandidat. Kerahasiaan dalam pilkades sering menimbulkan keraguan masyarakat.

Nuryanta mengistilahkan, pilkades model konvensional adalah rahasia tapi tidak rahasia. Artinya, ada trik dan celah yang bisa disalahgunakan pihak tertentu saat proses pencoblosan. Sehingga menguntungkan salah satu kandidat.

Misalnya, dalam satu tim pemenangan ketika sosialisasi masyarakat diminta untuk mencoblos pada bagian tertentu. Supaya ketika penghitungan surat suara, target perolehan hasil yang diinginkan setiap tim lebih mudah terpantau.

“Jadi misalnya tim ini ada yang nyoblos peci, dada, atau bagian lain, kan bisa ketahuan tim itu memenuhi target suara atau tidak. Ini juga akan menimbulkan konflik,” beber anggota Fraksi Partai Persatuan Pembangunan itu.

Adanya e-voting, lanjut Nuryanta, kecurangan-kecurangan dalam pilkades bisa ditekan seminimal mungkin. Selain agar menjaga kerahasiaan saat memilih. “Nanti di e-voting tinggal pencet saja. Jadi rahasia lebih terjamin,” katanya.

Dengan e-voting perolehan suara tiap calon kades lebih maksimal. Karena tidak akan ada lagi suara yang gugur. Sementara warga yang berniat golput atau sengaja tak mau menggunakan hak pilihnya di tempat pemungutan suara (TPS) akan kelihatan. “Intinya e-voting ini agar tidak ada lagi gejolak,” tegas Nuryanta.

Dia teringat saat pilkades di Desa Sukoharjo, Ngaglik periode lalu. Sempat muncul gejolak di masyarakat. Masalah itu dipicu banyaknya suara gugur. “Kalau orang tua itu asal buka lalu lihat gambar langsung dicoblos. Bisa saja itu tembus gambar calon lain, sehingga gugur,” ungkapnya.

Memang untuk menerapkan e-voting juga memerlukan biaya yang tidak sedikit. Persiapannya juga tidak bisa sebentar. Makanya segala sesuatunya harus dipersiapkan mulai dari sekarang. Dalam hal ini dewan berperan menelurkan payung hukumnya. Untuk kepentingan tersebut Komisi A DPRD Sleman telah menyusun rancangan peraturan daerah (raperda) tentang pilkades dengan e-voting.

Sosialisasi materi e-voting bagi masyarakat terus dilakukan. Pun demikian pendampingan dan pelatihan kepada penyelenggara pilkades. “Panitia pilkades perlu didampingi. Terutama untuk operasional alat e-voting,” jelasnya.

Pada tahun ini ada 49 desa penyelenggara pilkades dengan sistem e-voting. Guna mempercepat pelaksanaan pilkades, jumlah TPS akan disesuaikan dengan kebutuhan saat pemilihan umum. Tiap TPS disediakan satu unit perangkat e-voting. Masing-masing TPS paling banyak menampung 300 orang pemilih. Artinya, jika jumlah pemilih di satu TPS lebih dari 300 orang akan disediakan dua perangkat e-voting. Komisi A DPRD Sleman mendorong pemerintah untuk mengadakan sedikitnya 20 perangkat e-voting

Meski biaya pembelian alat cukup besar, Nuryanta optimistis pilkades tahun ini akan jauh lebih baik dibanding sebelum-sebelumnya. Di sisi lain perangkat e-voting bisa digunakan lagi untuk pilkades periode selanjutnya. Sedangkan perangkat komputer pendukung alat e-voting bisa dimanfaatkan untuk keperluan admonistrasi pemerintah desa terkait.

Pilkades akan diselenggarakan serentak. Namun bergelombang. Tidak sekaligus. Sedikitnya lima gelombang. Mulai Oktober hingga November. Langkah itu guna menyiasati keterbatasan jumlah perangkat e-voting.

Sebelumnya, Ketua Paguyuban Kepala Desa se-Sleman “Manikmoyo” Irawan menyatakan dukungannya terkait e-voting. Hanya yang perlu diperhatikan pemerintah adalah ketersediaan ruang TPS. Itu jika diberlakukan satu desa satu TPS. Meski jumlah perangkat e-voting di TPS mencukupi, penumpukan massa di satu lokasi membutuhkan tempat yang luas. Kondisi itu juga berpotensi rawan konflik karena pebdukung seluruh kandidat kades akan berkumpul di satu titik. “Prinsip kami tak menolak perkembangan teknologi. Namun hal-hal non teknis terkait pelaksanaan e-voting harus disiapkan secara matang guna mencegah konflik sosial,” katanya. (*/har/yog/mg2)