SLEMAN – Batuan yang diduga merupakan bagian dari bangunan candi, kembali ditemukan. Setelah sebelumnya batuan candi ditemukan di daerah Tempel, kini di lereng Merapi yang masuk Kecamatan Cangkringan juga ditemukan hal serupa.

Baru-baru ini dua buah Jaladwara ditemukan di Desa Wukirsari, Cangkringan. Tak jauh dari lokasi penemuan Jaladwara, juga ditemukan batu yang diduga batuan dari bangunan candi. Batuan itu ditemukan berserakan di kolam milik warga.

“Kemarin saya sudah ke sana, mengidentifikasi sekitar 7-8 batu,” ungkap Kepala Unit Penyelamatan, Pengembangan dan Pemanfaatan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Jogjakarta Muhammad Taufik Kamis(28/3).

Lokasi penemuan Jaladwara berada di Dusun Salam, sedangkan keberadaan batu yang diduga batuan candi ditemukan di Dusun Duwet. Dua lokasi itu berjarak tak lebih dari 200 meter. Untuk Jaladwara sudah diamankan BPCB ke penampungan benda cagar budaya yang terletak di Turi pada Senin (25/3), sementara untuk batuan yang diduga candi masih dibiarkan di lokasi penemuan.

Kedua Jaladwara itu terbuat dari batu andesit. Yang satu berukuran tinggi 45 cm, panjang 43 cm, dan lebar 19 cm, sedangkan satunya lagi tinggi 41 cm, panjang 20 cm dan lebar bawah 19 cm. Kepala atau ujung Jaladwara sudah aus, sedangkan jalan air sudah patah.

“Jaladwara merupakan bagian pancuran air. Biasanya terletak di sudut-sudut candi yang berhubungan langsung dengan lantai untuk mengalirkan air di lantai candi. Atau bisa juga ditemukan di pertirtaan,” jelas Taufik.

Selain itu, pihaknya juga menemukan batuan yang diduga candi pada pekarangan rumah warga Duwet. Bentuknya lumpang batu. Namun tidak diamankan BPCB, karena belum ditemukan indikasi berhubungan dengan Jaladwara.

“Yang di situ (Duwet), kemungkinan ada (candi). Biasanya candi-candi itu dibangun di dekat sumber air, bukan pertirtaan. Di tempat-tempat yang subur,” jelasnya.

Di lokasi penemuan batu candi, kebetulan berdekatan dengan mata air. Pihaknya menduga besar kemungkinan ada candi. Sebab, biasanya candi itu dibangun di dekat mata air atau dekat sumber air. “Mungkin juga Jaladwara itu diambil dari situ, ada konteksnya,” jelasnya.

Batu diduga batuan candi itu ukurannya sekitar 20-50 cm. Sebelumnya BPCB juga pernah mengamankan sebuah Yoni dari sekitar lokasi tersebut. Dan informasi yang di dapat dari warga setempat, juga sering menemukan bebatuan serupa ketika menggali tanah.

“Ditemukan batu-batu lepasnya. Kami juga pernah melakukan penyelamatan di situ, dulu Yoni-nya. Intinya, satu candi itu kan satu Yoni, tidak mungkin satu candi ada dua Yoni. Bisa tapi dalam satu kompleks, ada candi Hindu ada candi perwaranya,” ungkapnya.

Jika betul di lokasi itu pernah berdiri candi, Taufik menyebut ukurannya tak akan jauh berbeda dengan Candi Kalasan atau Candi Kedulan. Dengan perkiraan pembangunan abad 7-8 Masehi, satu zaman dengan candi-candi di wilayah Sleman Timur. “Kemungkinan (candi) Hindu,” jelasnya.

Meski ada indikasi awal di lokasi itu ada candi, BPCB belum berencana melakukan penggalian. Sebab, dalam konteks pelestarian itu ada yang merekam data atau dipugar. “Lihat di situ sudah dibikin kolam warga. Kami sudah mendokumentasi semua temuannya, terus sudah merekam titik koordinatnya. Kemarin kami minta untuk ditimbun saja,” kata Taufik.

Salah satu upaya pelestarian itu memang ditimbun kembali. Karena kalau dibawa ke tempat penampungan benda cagar budaya, kata dia, akan membuat benda itu keluar dari konteksnya atau ceritanya. “Kalau keluar konteks nanti tidak bisa diceritakan, tidak ada runtutannya,” katanya.

Sementara itu, Sukadi, 48, warga Dusun Salam yang di pekarangannya ditemukan Jaladwara, mengungkapkan benda itu sudah lama ada di pekarangan yang terletak di belakang rumahnya. Hanya saja dia tidak tahu menahu jika itu adalah batuan candi. “Sejak saya kecil sudah ada di pekarangan, tapi tidak tahu itu apa, hanya bentuknya seperti reca (arca, Red),” ujarnya. (har/laz/mg3)