MAGELANG – Suasana halaman kantor Bakorwil II di kompleks eks Karesidenan Kedu, Kota Magelang akhir pekan lalu terasa berbeda dari hari biasa. Seharian penuh halaman itu dipenuhi aneka jenis wayang. Sejak pukul 08.00 hingga 20.00. Ada wayang kancil, wayang purwa, wayang gedhog, wayang menak, wayang wahyu, wayang krucil, wayang onthel, wayang infus, dan lainnya.

Para pengunjung acara itu tak sekadar bisa melihat-lihat wayang yang dipamerkan. Mereka juga bisa belajar seluk beluk wayang dari ahlinya. Bahkan mereka bisa mengikuti workshop membuat wayang kulit, wayang kancil, dan wayang godhong.

Panggung wayang tak lengkap tanpa gamelan, pengrawit, dan tentu saja dalangnya. Nah, semua itu juga tersaji dalam workshop. Selain belajar membuat wayang, para pengunjung bisa sekalian memainkannya. Pun demikian dengan gendhing-gendhing pengiring pementasan wayang. Pengunjung pameran bisa ikut menabuh gong, memukul kenong dan gender, hingga mengendang. Semuanya didampingi para ahli.

Acara itu memang sarat nilai filosofis. Wayang mengandung makna edukasi. Tak jarang alur ceritanya mengisahkan keteladanan lewat karakter tokoh-tokohnya. “Tantangannya adalah kepedulian masyarakat terhadap kesenian wayang yang makin berkurang,” ungkap Koordinator Festival Wayang Magelang Wira Mukti.

Saat ini wayang sebagai seni pertunjukan semakin tergeser oleh budaya modern yang lebih kekinian. “Sekarang kalau saya punya uang, mau nanggap wayang bisa. Pertanyaannya, apakah lima tahun ke depan kalau saya punya uang masih mau nanggap wayang?” katanya.

Karena itu, panitia sengaja melibatkan generasi muda sebagai pengisi acara. Termasuk dalang-dalang muda usia di bawah 30 tahun. Mereka gantian mendalang tiap dua jam selama festival. Itu membuktikan wayang masih eksis di tengah gerusan zaman. Dan masih ada generasi milenial yang peduli dengan wayang.

“Kami membuat acara ini secara mendadak,” ungkap Henokh Aldebaran Ngili, sang ketua panitia pameran.

Ide menggelar pameran wayang, kata Henokh, tebersit begitu saja. Didorong fakta generasi muda sekarang yang lebih mengenal aneka permainan modern lewat gawai. Dibandingkan wayang. Sementara wayang merupakan warisan adiluhung yang harus dijaga kelestariannya.

Tidak semua kisah pewayangan bercerita tentang kehidupan manusia. Seperti wayang kancil, bercerita tentang dunia hewan. Lalu wayang wahyu yang ceritanya diambil dari kisah-kisah dalam Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Wayang wahyu populer di lingkungan gereja sejak 1960.

Festival wayang sekaligus sebagai jawaban akan kerinduan acara budaya di Magelang. Henokh pernah merasakan sebagai peserta festival wayang pada 2001. Kala itu dia menjadi dalang cilik dan pentas di lokasi festival. “Saat itu saya masih kelas 1 SMP,” kenangnya. “Sayang, sejak saat itu tidak ada event wayang lagi di Magelang. Saya dan teman-teman komunitas pun berhasrat mengadakan festival ini meski memang belum besar,” tambahnya.

Henokh mengambil tema “Bentuk Bayang Abadi” dalam festival wayang kali ini. Ini bermakna, besar harapannya wayang yang bisa dinikmati dalam bentuk bayangan itu akan kekal. “Namun, bayang itu akan ada kalau sinarnya juga ada,” tegas Henokh. “Ini tugas kami sebagai generasi muda untuk mempertahankan warisan budaya bangsa ini. Agar tetap abadi,” lanjutnya.

Sekda Kota Magelang Joko Budiyono menyempatkan hadir di sela Festival Wayang Magelang. Joko pun tertarik mengikuti workshop gamelan dan karawitan. Dia juga mencoba menabuh kendang.

“Pemerintah sangat mengapresiasi festival ini. Sangat bagus untuk mengenalkan wayang kepada generasi muda kita yang ke depan nanti akan terus melestarikannya,” ujar Joko didampingi Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Taufik Nurbakin

Dia pun berharap festival serupa bisa dihelat lagi tahun depan. (yog/rg)