JOGJA – Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki peran sangat istimewa dalam Hari Kebangkitan Nasional. Pendirian Boedi Oetomo juga melibatkan pemikiran tokoh dari Yogyakarta yakni dr Wahidin Sudirohusodo. Lahir di Desa Mlati, Sleman, pada 7 Januari 1852, dr Wahidin berhasil lulus sebagai dokter Jawa di Stobia School tot Opleiding voor Inlandsche Arsten (Stovia) Jakarta. Selain itu, Yogyakarta adalah tempat penyelenggaraan kongres pertama Boedi Oetomo.
Dr Wahidin merupakan seorang tokoh intelektual yang berusaha memperjuangkan nasib bangsanya. Dia berusaha memperbaiki pendidikan masyarakat Jawa. Dia menghimpun beasiswa agar dapat pendidikan modern dapat dienyam golongan priyayi Jawa dengan mendirikan Studie Fonds atau Yayasan Beasiswa.
Kerika memasuki usia pensiun, dr Wahidin Sudirohusodo berkeliling ke sejumlah kota di Jawa. Salah satunya yakni Jakarta. Dia menemui dan berdialog dengan mahasiswa yang sedang menempuh pendidikan di Stovia. Beberapa di antaranya adalah Soetomo, Soelaeman, Goenawan Mangoenkoesoemo, Angka Prodjosoedirdjo, Gembroek, M Suwarno, Muhammad Saleh, dan Soeradji.
Dalam kesempatan tersebut, beberapa tahun sebelum tahun 1908, dr Wahidin menyemangati para mahasiswa Stovia. Salah seorang mahasiswa yakni Sutomo merespons dengan sangat antusias. ”Punika setunggaling padamelan sae sarta nelakaken budi oetami!” kata Soetomo. Pernyataan tersebut bermaksa suatu perbuatan yang baik dan menunjukkan keluhuran budi!.
Kata-kata budi oetami itu menginspirasi terbentuknya Budi Oetomo. Soetomo menjelaskan kepada teman-temannya bahwa masa depan bangsa dan tanah air berada di tangan mereka. Gagasan itu dinyatakan pada Minggu 20 Mei 1908 sekitar pukul 09.00.
Gagasan itu mendapat respons baik. Mereka sepakat membentuk organisasi yang dinamakan Boedi Oetomo.
Meski demikian, Soetomo dan kawan-kawannya tidak terlibat langsung dalam mengurus Boedi Oetomo. Mereka memilih menyerahkan Boedi Oetomo kepada seniornya.
Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki pesan penting dalam peristiwa ini. Hal tersebut tecermin dari penyelenggaraan kongres pertama Boedi Oetomo di Yogyakarta. Kongres dihelat selama tiga hari yakni 3 hingga 5 Oktober 1908. Peserta kongres merupakan pengurus cabang di tujuh kota. Yakni, Batavia (Jakarta), Bandung, Bogor, Surabaya, Ponorogo, Magelang, dan Yogyakarta. Salah satu keputusan kongres adalah mengangkat mantan Bupati Karanganyar Raden Adipati Tirtokoesoemo sebagai ketua.
Di bawah pimpinan Raden Adipati Tirtokoesoemo, Boedi Oetomo berkembang pesat. Ada banyak bangsawan dan pejabat Kolonial yang bergabung.
Sejumlah tokoh yang memiliki pemikiran kebangsaan pun bermunculan. Salah satu di antaranya yakni Soewaradi Soerjaningrat atau dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara. Sejak Boedi Oetomo berdiri pada 1908, dia terlibat aktif. Dia tergabung dalam seksi propaganda. Tugasnya melakukan sosialisasi dan menggugah kesadaran warga Indonesia Indonesia tentang pentingnya persatuan dan kesatuan. Bahkan, dia juga dipercaya menjadi panitia pelaksanaan Kongres I Boedi Oetomo di Yogyakarta.
Setelah Boedi Oetomo berdiri, bermunculan organisasi lainnya. Di Solo berdiri Sarekat Dagang Islam, organisasi yang ditujukan sebagai perhimpunan bagi pedagang di Solo dengan nama Sarekat Dagang Islam. Namun, Sarikat Dagang Islam kemudian diubah menjadi Sarekat Islam oleh Tjokroaminoto. Perubahan itu dilakukan dengan tujuan mempersatukan semua warga Indonesia yang hidupnya tertindas oleh penjajahan.
Berdiri pula Muhammadiyah yang digagas KHA Dahlan di Yogyakarta. Di daerah lain, berdiri organisasi lain semisal Indishe Partij yang didirikan Ernest Douwes Dekker.
Ketika mengetahui bahwa pemerintah Kolonial Belanda berniat menggelar perayaan di ulang tahun kemerdekaan Belanda memakai uang yang ditarik dari warga Indonesia, Soewardi Soerjaningrat tak tinggal diam. Dia menulis kritik yang sangat tajam. Tulisan tersebut berjudul Seandainya Aku Seorang Belanda yang dimuat pada edisi 13 Juli 1913 di surat kabar De Expres yang dipimpin Douwes Dekker.
Tulisan itu membuat Soewardi Soerjaningrat diasingkan oleh Kolonial Belanda. Dia dikirim ke Belanda bersama Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo.
Soewardi Soerjaningrat dengan tegas menekankan bahwa Boedi Oetomo merupakan manifestasi dari perjuangan nasionalisme. Dia menyatakan nasionalisme adalah milik setiap warga Indonesia.
Usai menjalani pengasingan dan kembali ke Indonesia, Soewardi Soerjaningrat kembali berkiprah. Dia mendirikan Nationaal Onderwijs Instituut Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa. Sebuah lembaga pendidikan yang memberi kesempatan kepada siapa pun untuk memperoleh pendidikan. Dia pun kemudian dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara.
Momentum Kebangkitan Nasional dicetuskan oleh Presiden Soekarno. Itu terjadi pada tahun 1948 atau sekitar tiga tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 19545.
Soekarno ingin menyatukan kembali Republik Indonesia yang ketika itu ”terpecah-pecah” akibat kebijakan penjajah Belanda. Setidaknya, sejumlah perjanjian seperti Renville dan Van Royen menjadikan Indonesia semakin terpecah.
Gagasan Soekarno tersebut ditangkap Ki Hadjar Dewantara. Setelah melakukan serangkaian diskusi, diputuskan bahwa momentum berdirinya Boedi Oetomo dijadikan sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Hari Kebangkitan Nasional dimanfaatkan Soekarno untuk menyatukan seluruh warga Indonesia yang terpecah belah untuk bersatu. Bersatu melawan Kolonial Belanda.
Peringatan Hari Kebangkitan Nasional pun dilaksanakan pertama kali di Yogyakarta. Tepatnya, di Istana Negara Yogyakarta. Ki Hadjar Dewantara ditunjuk sebagai ketua panitia.
Dalam sebuah kesempatan, Ki Hadjar Dewantara menegaskan keutamaan memberikan kesempatan untuk berpikir secara mandiri. ”Kemerdekaan hendaknya dikenakan terhadap caranya anak-anak berpikir, yaitu jangan selalu dipelopori atau disuruh mengakui buah pikiran orang lain. Akan tetapi, biasakan lah anak-anak mencari sendiri segala pengetahuan dengan menggunakan pikirannya sendiri.” (*/amd/fj)