JOGJA – Tak mudah menjadi seorang Formed Police Unit (FPU). Ketatnya seleksi hanya mengantarkan 140 dari ribuan polisi yang mendaftar. Salah satunya Briptu Hikma Nur Syafa Atun. Dia resmi bertugas sebagai penjaga perdamaian di Bangui, Afrika Tengah.

Sosok Briptu Hikma Nur Syafa Atun pun mencuri perhatian jagad sosial media beberapa waktu belakangan ini. Polisi wanita (polwan) yang bertugas di Satlantas Polres Bantul ini menjadi salah satu kontingen FPU. Melalui akun Instagram pribadinya, dia berbagi cerita tentang penugasannya di daerah rawan konflik itu.

Dihubungi melalui sambungan telepon, polisi yang akrab disapa Briptu Ima ini bercerita banyak. Selama 20 menit dia menceritakan panjang lebar hingga bisa berangkat ke Afrika Tengah. Termasuk bagaimana antusiasnya saat mengikuti seleksi tahap awal.

“Waktu itu ada pengumuman pendaftaran akhir 2017. Januari 2018 langsung mendaftar dan bulan berikutnya (Februari) dinyatakan diterima. Selanjutnya April mulai menjalani pelatihan,” jelasnya lewat sambungan telepon, Selasa malam (13/8).

Pada tahapan ini dia harus bersaing dengan ribuan pendaftar lain. Tes berlangsung secara ketat dan bertahap. Mulai tes kesehatan, menembak hingga wawancara. Tes ini layaknya pendaftaran awal personel Polri. Tujuannya untuk menemukan polisi yang layak menjadi seorang FPU.

Usaha keras menjawab keinginan sang bintara polisi ini. Kini, Briptu Ima terpilih dalam 14 polwan perwakilan Polri. Usai seluruh tahapan dan pelatihan rampung, tim FPU Indonesia berangkat Juli. Dia akan menjalani misi internasional selama setahun.

“Kalau total FPU yang berangkat ada 140 personel, 14 di antaranya polwan. Kalau yang dari Jogja, selain saya ada juga AKP Leonisa yang kesehariannya bertugas di Polda DIY,” kata alumnus SD Muhammadiyah Karangkajen, Kota Jogja, ini.

Kemampuan dasar kepolisian tak cukup. Perempuan kelahiran Bantul 1 Agustus 1994 ini harus sekolah bahasa Prancis. Negara di benua Afrika itu menggunakan bahasa Prancis sebagai bahasa nasionalnya. Mau tak mau Briptu Ima harus menambah kosakata berkomunikasi.

Alumni SMAN 1 Sewon ini memiliki waktu terbatas. Kurang lebih satu tahun dia harus memperlancar bahasa Prancisnya. Selain bekal komunikasi dengan warga, juga dengan FPU dari negara lain. Termasuk dengan pejabat dan pemangku kebijakan daerah setempat.

“Benar-benar dari nol belajarnya, karena sebelumnya memang belum bisa bahasa Prancis. Belajar di IFI Jogja selama dua bulan, terus lanjut lagi di IFI Jakarta. Masih ditambah pelatihan internal dari kepolisian. Alhamdulilah sudah lancar sekarang,” ujar bintara angkatan 2013 ini.

Tidak cukup fisik, kemantaban hati juga menjadi bekalnya. Dia menyadari pilihannya bukanlah sesuatu yang indah. Terlebih Bangui masuk dalam kawasan konflik tinggi. Warga menenteng senjata hingga desingan peluru seakan menjadi rutinitas harian.

Jangan bayangkan bangunan dengan ranjang yang nyaman. Untuk mengistirahatkan tubuh, Briptu Ima harus tidur dalam sebuah tenda. Ini karena camp tempatnya bertugas masih baru. Bahkan hingga saat ini bangunan fisik masih dalam tahapan pembangunan.

Delapan jam berjaga sudah menjadi santapan rutinnya. Tak lupa rompi antipeluru, helm baja, dan senjata laras panjang tak pernah lepas dari tubuhnya. Bukan untuk menakuti-nakuti, namun perlengkapan ini standar baku selama bertugas.

“Suara tembakan sudah terdengar biasa. Kalau di jalan-jalan bisa lihat warga menenteng AK-47. Bahkan dulu saat pertama datang, transit di daerah yang lebih rawan. Di tempat itu tidak hanya terdengar suara tembakan, kadang ada peluru nyasar, walau tidak sampai camp,” ceritanya.

Tak dipungkiri, Briptu Ima sedih atas kondisi di Bangui. Untuk sebuah wilayah berdaulat, namun tidak aman dan nyaman ditinggali. Ditambah lagi banyak anak kecil di kawasan tersebut. Sebagian anak kecil inilah yang terlihat dalam unggahan akun sosial media miliknya.

Ada rasa iba dalam hatinya saat bertemu anak-anak kecil tersebut. Uluran tangan minta makan selalu dia temukan. Hanya saja, dia tidak bisa langsung memberikan makanan. Ini karena aturan tersebut telah terpatri selama bertugas.

“Masih konflik horizontal antarwarga, perang masih kerap terjadi. Masih serba kekurangan, terutama makanan. Kalau ketemu kami (FPU, Red) sering minta makan, tapi kami tidak boleh asal kasih,” kata lulusan SMPN 2 Sewon ini.

Interaksi demi interaksi dengan warga lokal berlangsung intens. Kedekatan emosional telah terjalin antara Briptu Ima dengan warga sekitar camp. Walau rawan konflik, Briptu Ima menilai warga setempat sangatlah ramah.

Kesempatan ini dia gunakan untuk berkomunikasi. Termasuk mengenalkan Indonesia kepada warga, khususnya anak-anak. Sambutan hangat selalu dia terima selama berkomunikasi. Kuncinya adalah mengedepankan kearifan lokal Indoneisa, senyum, sapa, dan salam.

“Namanya juga orang Indonesia (saya) pasti langsung ingin terjun saja, ketemu dan ngobrol. Warga sekitar camp penasaran, ingin tahu Indonesia seperti apa. Senyum, sapa, salam itu wajib,” katanya. (dwi/laz/by)