BUPATI Madura Cakraningrat sudah lama menjadi oposisi Mataram. Cakraningrat tidak senang dengan kepemimpinan Susuhunan Paku Buwono II. Mataram dinilai ingkar janji menyerahkan Pasuruan ke Madura. Janji itu didapat Cakraningrat saat menikahi adik Paku Buwono II. Sejak itu dia memutuskan mbalela. Cakraningrat berpendapat, musuh dari musuh dijadikan sahabat. Sebaliknya, kawan dari musuh menjadi lawan. Karena itu,  bupati Madura ini memilih membantu VOC. Melawan orang-orang Tionghoa yang berkoalisi dengan Mataram.

Sikap Cakraningrat  oleh Paku Buwono II disebut tindakan seorang makmum yang tengah terlena akibat tidak patuh dengan imam. Sunan merasa percaya diri menghadapi ulah iparnya itu.

Dia memerintahkan adiknya, Pangeran Mangkubumi, berangkat ke Tuban dan Lamongan.

Mangkubumi yang nantinya naik takhta menjadi Sultan Hamengku Buwono I memimpin gabungan pasukan Mataram-Tionghoa. Koalisi ini bertempur melawan pasukan Cakraningrat.

Untuk menambah kekuatan Mangkubumi, Paku Buwono II meminta Bupati Madiun Sumbroto mengirimkan pasukan tambahan.

Pesisir Jawa Timur dengan Jawa bagian tengah punya beberapa persamaan. Kedua daerah itu sama-sama menjadi pusat syiar agama Islam. Untuk Sedayu ada Sunan Ampel. Sedangkan Tuban punya Sunan Bonang. Seorang Wali Sanga yang masih keturunan Tionghoa.

Perbedaannya terkait hubungan dengan Mataram. Para bupati pesisir Jawa bagian tengah menjalin kekerabatan dengan petinggi Istana Kartasura. Misalnya Bupati Jayaningrat. Dia menjadi besan Patih Notokusumo. Ini tidak terjadi di pesisir Jawa bagian timur. Kondisi itu mempengaruhi komunikasi antara Mataram dengan para pejabat di pesisir Jawa bagian timur.

Patih Notokusumo punya anak buah yang loyal. Namanya Martapuro. Jabatannya bupati Grobogan.

Dia selalu menaati semua perintah Notokusumo. Ketika terjadi perlawanan orang-orang Tionghoa di wilayahnya, Martapuro memberikan dukungan.

Hubungan dengan pemimpin Tionghoa setempat seperti encik Macan dan Muda Tek telah berlangsung sejak lama. Prestasi Martapuro di medan tempur terukir di Grobogan dan Terboyo. Dalam dua pertempuran menghadapi VOC, koalisi Mataram-Tionghoa di bawah Martapuro mencapai hasil gemilang.

Selain Martapuro, anak buah andalan Notokusumo adalah Rajaniti, bupati di daerah Mataram. Rajaniti ikut bertempur menggempur benteng Kompeni di Semarang. Pasukan koalisi Mataram- Tionghoa berjumlah 2.000 orang. Mereka ditempatkan di daerah Peterongan.

Loyalis Notokusumo lainnya adalah Mlayakusumo. Posisinya Wedana Siti Ageng yang langsung di bawah patih. Para anak buah Notokusumo itu dikenal punya militansi tinggi. Sikap dan tindakannya konsisten. Bahkan cenderung konfrontatif  dengan VOC.

Militansi itu ditunjukkan saat pertempuran di Semarang. Pasukan Mataram-Tionghoa berhasil memaksa serdadu VOC tetap tinggal di dalam benteng. Keadaan ini berjalan selama berminggu-minggu. Pasukan Kompeni hanya bisa bertahan. Tidak mampu menyerang balik.

Keadaan ini memaksa Abraham Roos, kepala perwakilan VOC di Semarang, mengundurkan diri. Dewan Kompeni di Semarang juga memutuskan menghentikan pertempuran. Situasi dinyatakan status quo. Keputusan ini rupanya mengundang kemarahan Dewan Hindia di Batavia.(yog/by/bersambung)