Di tengah perjalanan menuju Semarang, Patih Notokusumo singgah dan bermalam di Ungaran. Saat beristirahat, Patih Mataram ini bermimpi. Dia melihat laskar Tionghoa berpakaian perempuan. Dalam pandangan orang Jawa, perempuan merupakan lambang kelemahan. Dengan mimpi itu, muncul tafsir kekuatan Tionghoa tengah melemah.

Mimpi itu membuat gusar sang patih. Notokusumo kemudian menceritakan mimpi itu kepada sahabatnya, seorang ulama Sayid Mahbul. Rasa khawatir Notokusumo bertambah. Sayid Mahbul juga punya firasat sama. Dia baru saja bermimpi pedangnya jatuh ke perapian. Kedua tokoh ini sama-sama khawatir dengan mimpi buruk itu. Koalisi Mataram-Tionghoa  menghadapi ancaman  kekalahan.

Kondisi di lapangan, pasukan Mataram mulai kedodoran. Pimpinan VOC ingin merebut Sungai Terboyo. Bagi Kompeni, sungai itu sangat vital. Laskar Tionghoa memotong akses VOC ke Semarang melalui jalur ini.

Setelah mendengar pasukannya kalah di Kaligawe, Notokusumo bergerak menuju Terboyo. Namun gerakannya dihadang Kapten VOC Von Hohendorff. Dalam pertempuran itu, kuda yang dinaiki Notokusumo mati tertembus peluru lawan. Namun Notokusumo tidak menyerah. Perlawanan terus dilakukan.

Di bagian timur, pasukan Cakraningrat berhasil menduduki Jipang. Pasukan Mataram berhasil dipukul mundur oleh tentara Madura. Laskar Tionghoa yang berada di Blora diperintahkan membantu pasukan Mataram. Dalam pertempuran itu 300 orang Madura tewas. Di kubu laskar Tionghoa kehilangan 200 prajurit.

Pertemputan besar di Jipang ini membuat panik pasukan koalisi Mataram-Tionghoa. Beberapa pimpinan laskar Tionghoa gugur. Keadaan itu membuat kalut Tumenggung Metaun dan Tumenggung Kramawijaya. Dua komandan pasukan Mataram itu mengamuk. Namun keduanya juga gugur. Koalisi Mataram-Tionghoa akhirnya kalah. Sisa pasukan akhirnya menyingkir ke arah barat dan selatan. Mereka meninggalkan Jipang.

Kekalahan juga dialami Bupati Tuban Tumenggung Suradiningrat. Upayanya mempertahankan Tuban dari serangan pasukan Madura gagal. Suradiningrat harus mengalami nasib tragis. Dia tewas dipenggal kepalanya oleh pasukan Cakraningrat dari Madura.

Kemenangan atas Tuban ini segera dilaporkan Cakraningrat ke VOC. Bupati Madura itu juga sukses menguasai Sedayu, Gresik, Lamongan, dan Jipang. Berita ini disambut gembira petinggi Kompeni di Semarang.

Kemenangan itu mendorong VOC mengirimkan pasukan tambahan ke Jepara. Sejak beberapa waktu lalu, Jepara dikuasai pasukan Koalisi Mataram-Tionghoa. Namun sejak 25 November 1741, Jepara berangsur-angsur berhasil dikuasai Kompeni. Koalisi Mataram-Tionghoa terus mengalami kekalahan. Kompeni dan pasukan Madura berada di atas angin.

Dari sekian kota, hanya Tegal yang masih ada di bawah kendali Mataram. Beberapa bupati diketahui mengangkat bendera putih. Mereka memilih menyerah setelah Surabaya dan Pasuruan juga jatuh kembali ke Kompeni.

Perlawanan sengit tetap ditunjukkan Bupati Grobogan Martapura dan Bupati Pati Mangunoneng. Mereka terus mengadakan konsolidasi dengan sisa-sisa laskar Tionghoa. Langkah mundur juga ditempuh Patih Notokusumo dan Kapitan Sepanjang dari Semarang.

Setelah Kompeni tak lagi mengadakan pengejaran, keduanya membangun ulang kekuatan. Notokusumo juga menulis surat ke Susuhunan Paku Buwono II. Dalam suratnya, Notokusumo melaporkan situasi yang terjadi di lapangan. Sang patih juga memohon petunjuk dan arahan lebih lanjut dari Sunan. (laz/by)