SUSUHUNAN Paku Buwono II kembali duduk di singgasana Kerajaan Mataram pada 21 Desember 1742. Sunan harus meninggalkan keraton gara-gara Geger Pacinan. Selama enam bulan Paku Buwono II mendirikan pemerintahan darurat dengan ibu kota sementara di Ponorogo.

Bagi Sunan, lenggah di dampar kencana (duduk di singgasana, Red) itu merupakan kali kedua. Raja yang lahir dengan nama Raden Mas Gusti (RMG) Prabasuyasa itu kali pertama dinobatkan sebagai Susuhunan ing Mataram pada 2 Juni 1726. Penobatan pertama itu bertepatan dengan momentum Idul Fitri.

Selama lebih dari satu dasa warsa, Paku Buwono II menjalankan roda pemerintahan dengan stabil. Ekonomi berjalan baik. Tidak banyak terjadi gejolak harga. Ekonomi Kerajaan Mataram juga tumbuh dengan baik. Ekspor ke negara-negara tetangga berjalan mulus.

Namun gejolak mulai muncul pada dwi windu atau 16 tahun pemerintahannya. Pascapembantaian orang-orang Tionghoa oleh VOC di Batavia, efeknya berimbas ke Mataram. Sunan ikut terseret dalam pusaran  perang Kompeni versus Tionghoa itu. Puncaknya pada akhir Juni 1742, Paku Buwono II harus kehilangan takhta. Keraton Mataram sempat punya penguasa baru bergelar Sunan Amangkurat V alias Sunan Kuning.

Kini takhta itu telah kembali. Sunan Amangkurat V telah terusir. Bahkan telah ditangkap. Sunan Kuning kemudian diasingkan ke Sri Lanka. Meski duduk di singgasana, Paku Buwono II  merasakan situasi berbeda pada periode kedua pemerintahannya ini. Penobatan kedua itu diliputi suasana keprihatinan.

Perekonomian Mataram mengalami kemunduran. Kehidupan rakyat dalam kondisi sulit. Sunan juga harus meneken berbagai perjanjian baru dengan VOC pada 1743. Semua isi perjanjian itu makin menyulitkan posisi Mataram. Kawasan pesisir utara Jawa diserahkan pengelolaan kepada Kompeni. Mataram mendapatkan kompensasi berupa uang sewa.

Sedangkan kemunduran ekonomi itu terlukiskan dalam laporan buku-buku huruf Jawa karya R. Sosrosumarto dkk berjudul Tus Pajang pada 1939, Babad Tanah Jawi tulisan R. Ngabehi Joyobroto dan Babad Surakarta yang ditulis Yosodipuro pada 1884.

Nalika jaman Kartasura ingkang akhir punika, praja koncatan ing karaharjan, kados surem kekuwungipun. (Ketika zaman akhir Kartasura, keadaan mengalami kemunduran ekonomi dan kemakmuran),” begitu ulasan yang disampaikan dalam tiga karya itu.

Tidak hanya ekonomi, secara fisik Keraton Mataram yang beribu kota di Kartasura dalam keadaan rusak berat. Usai penobatan yang kedua itu, Paku Buwono II langsung mengumpulkan sejumlah pejabat  kerajaan.

Sunan mulai berpikir membangun ibu kota baru. Pusat kerajaan harus dipindahkan. Kartasura dianggap telah tercemar karena pernah diduduki musuh. Dengan begitu tidak layak dipertahankan sebagai ibu kota negara. Begitu arahan Paku Buwono II saat mengadakan rapat kabinet.

Tidak lama kemudian diputuskan dibentuk tim observasi dan survei. Tim ini beranggotakan sejumlah ahli dan pejabat kerajaan. Tim ditugaskan melakukan observasi alias nitik dan survei atau nitis.

Tim itu terdiri atas Adipati Pringgalaya yang menjabat patih, Adipati Sindurejo, Kiai Tumenggung Honggowongso, juru nujum atau futurolog, Tumenggung Pusponagoro dan Tumenggung Mangkuyudo.

Tim itu masih ditambah Pangeran Mangkubumi, adik raja yang kelak menjadi Sultan Hamengku Buwono I dan Mayor Von Hohendorff. Meski berperan menumpas pemberontakan Sunan Kuning, Hohendorff dalam tim tersebut hanya bertindak sebagai konsultan. Usul atau pendapatnya hanya menjadi masukan. Tidak mempengaruhi keputusan akhir tim.

Sedangkan Honggowongso sebagai futurolog punya peranan penting dalam melakukan proyeksi. Melihat perkembangan untuk masa mendatang bagi calon ibu kota baru. Ada tiga alternatif lokasi yang dihasil tim tersebut. Yakni Desa Kadipolo, Desa Sala, dan Desa Sangkrah atau Sonosewu. Semua lokasi calon ibu kota Mataram itu terletak di sebelah timur Kartasura. (laz)