MENGUKUR tanah calon ibu kota Mataram menjadi langlah penting. Karena itu, Sunan Paku Buwono II menugaskan kepada lima orang. Mereka adalah Kapten Hohendorff, Adipati Pringgalaya, Tumenggung Honggowongso, Tumenggung Mangkuyudo, dan Tumenggung Tirtawiguna.
Sedangkan yang menjalankan nyipat kencenging kraton diserahkan kepada Pangeran Wijl dan Kiai Khalifah Buyut. Adapun yang ditugaskan ngukur adu manis atau estetika dipercayakan kepada Yasadipura dan Tohjoyo. Setelah mendapatkan restu dari Sunan, tanah Desa Tolowangi digunakan untuk meratakan tanah yang akan menjadi lokasi pembangunan istana Mataram.
Setelah berhasil diratakan, maka secara prinsip Desa Tolowangi dan Desa Sala telah disatukan. Dengan demikian, petunjuk yang didapat dari wangsit sebagai salah satu nilai yang dijunjung tinggi telah dijalankan. Pelaksanaan pembangunan dilaksanakan oleh Kiai Prabusono, Kiai Haryosono, Kiai Rajegpuro, dan Kiai Sri Kuning.
Pimpinan kegiatan ditangani Adipati Pringgalaya yang menjabat pepatih dalem. Pringgalaya dibantu para bupati mancanegara. Adapun arsitek pembanguan dikerjakan Pangeran Mangkubumi.
Dia merupakan adik kesayangan Paku Buwono II. Kelak lewat Perjanjian Giyanti 13 Februari 1755 yang diteken Mangkubumi dan Direktur Pantai Utara VOC Nicolaas Hartingh membelah Mataram menjadi dua. Selanjutnya Mangkubumi mendapatkan wilayah separo Mataram dan diangkat menjadi Sultan Hamengku Buwono I.
Peranan Mangkubumi sebagai arsitek pembangunan Keraton Mataram di Surakarta digambarkan Dr. F. Pigeud dan Dr L. Adam dalam majalah Jawa 1940 sebagai “de bouwmesestee van zyn broer Soenan PB II,”.
Selesainya pembangunan ibu kota Mataram ditandai dengan sengkalan “Sirnaning resi rasa tunggal,” atau 1670 (tahun Jawa) atau 1746 Masehi. Dengan selesainya pembangunan istana pengganti Keraton Kartasura, maka semua yang terlibat dalam pembangunan mendapatkan penghargaan dan hadiah arta brana.
Hadiah berasal dari Paku Buwono II. Pendistribuasian hadiah dilakukan Adipati Pringgalaya sebagai pepatih dalem. Hadiah itu diterima dengan suka cita oleh para penerimanya.
Setelah seluruh pembangunan dinyatakan selesai, Pringgalaya menyampaikan laporan kepada Paku Buwono II. Sunan didampingi beberapa pejabat Kerajaan Mataram mengadakan inspeksi ke calon ibu kota pengganti Kartasura. Pemindahan ibu kota Mataram itu terjadi untuk kali keeempat.
Pertama, perpindahan terjadi di masa Sultan Agung Hanyokrokusumo. Raja terbesar Mataram itu memindahkan dari Kotagede ke Kerta yang berjarak 7 kilometer. Letak Kerta ada di selatan Kotagede. Berikutnya pemindahan dilakukan Susuhunan Amangkurat I. Anak Sultan Agung ini memindahkan ibu kota Kerta ke Plered.
Sedangkan perpindahan ketiga di masa Susuhunan Amangkurat II. Putra Amangkurat I ini memindahkan ibu kota dari Plered ke Kartasura. Berbeda dengan perpindahan pertama dan kedua yang relatif aman dan damai, pada perpindahan ketiga berlangsung sebaliknya.
Ibu kota Mataram dipindahkan karena Plered pernah jatuh ke tangan musuh. Raden Trunajaya dari Madura pernah mengadakan aksi menduduki istana Plered. Amangkurat II kemudian mencari ibu kota baru. Jarak Plered ke Kartasura sekitar 60 kilometer.
Keputusan Paku Buwono II memindahkan ibu kota Kartasura ke Desa Sala juga dipicu oleh kondisi istana Mataram yang rusak akibat Geger Pacinan pada 1742. Setelah proses pembangunan istana baru, Paku Buwono II segera menetapkan hari yang baik untuk boyongan ke ibu kota baru. (laz)