DIADAPTASI dari film Korsel (Korea Selatan) yang belum pernah saya tonton, berjudul Sunny, film ini mengisahkan seorang mahmud (mamah muda) bernama Vina Panduwinata yang secara kebetulan bertemu kembali dengan seorang teman se-geng-nya semasa SMA dulu.

Pertemuan dengan sobat gengnya kali ini membawa keprihatinan karena sobatnya itu baru saja divonis tinggal dua bulan saja masa hidupnya. Sobatnya itu meminta Vina untuk mengumpulkan kembali sobat-sobat segeng SMA-nya dulu. Satu permintaan yang membuka kembali memori nostalgia Vina dan mengungkit-ungkit kembali asanya dulu yang telah terpendam seiring dirinya menjadi ibu rumah tangga.

Film ini sarat niatan bernostalgia. Lagu-lagu era 1990an yang bertebaran di sepanjang durasi sempat membuat saya sedikit merinding karena saya pernah turut menjalani masa itu dengan betul-betul menikmati masa kejayaan lagu-lagunya, macam Iwa K – Bebas, Denada – Kujelang Hari, dan lainnya.

Plot yang bergagasan besar pada ajang reuni demi teman yang sedang ”sekarat” ini sebetulnya sangat potensial membuat penonton menye-menye melodramatis. Lepas nonton film ini saja saya membayangkan kalau bisa jadi film aslinya membuat saya mewek. Lantas, gimana dengan film adaptasi arahan Riri Riza ini?

Langsung saja, saya merasa bahwa film ini kurang bernyawa. Betul, memang ada beberapa bagian cukup menghibur. Namun, secara keseluruhan banyak terjumpai kekakuan dan kekikukan, baik dalam adegan maupun dialognya. Ini bukan perkara salah pemilihan pemeran. Justru, yang lebih membuat saya bersedih, adalah dari segi penyutradaraan. Di film ini Riri Riza semacam kehabisan trik sulap dan sentuhan sinematiknya. Kalau saja ide dasar plot film ini nggak menarik, mungkin saja saya bakal lebih kecewa.

Skrip yang ditulis Mira Lesmana dan Gina S. Noer tak cukup membantu menguatkan dinamika emosi film yang alur set temporal narasinya berjalan maju-mundur ini. Film ini sedikit membuat khawatir terhadap perkembangan kreatif Riri Riza, karena bagi saya dia sedang menjalani grafik menurun, meski tak menukik, tapi tetap saja mengkhawatirkan.

Mungkin ada satu yang agak bisa dianggap mencuri perhatian dari film ini: olah peran Baim Wong dalam memerankan satu-satunya anggota geng yang cowok yang mana sisi dalam femininnya ”terpasung” karen tuntutan sekitar, terutama keluarga. (ila)

*Penulis adalah penggemar film dalam negeri dan penikmat The Chemical Brothers yang bermukim di Jogja Utara