PADA 6 April 1917, di tengah-tengah Perang Dunia I yang sedang berkecamuk dua kopral diutus seorang jenderal ke garis depan medan perang. Mereka diminta untuk memerintahkan pembatalan serangan ke Jerman karena diketahui sebagai jebakan strategis yang berpotensi menewaskan 1.600 prajurit.

Salah satu di antara ribuan prajurit itu seorang letnan yang merupakan kakak dari salah satu kopral yang diutus. Misi yang berbahaya dan tampak mustahil ini ditempuh dua kopral berkejaran dengan waktu sebelum ribuan prajurit dan si kakak yang berada di garis terdepan terancam tewas.

Sutradara Sam Mendes memberikan pencapaian sinematik yang patut dikenang. Selama menonton film ini merasakan bercampur sensasi menonton tiga film besar: Saving Private Ryan, Birdman, dan Dunkirk. Bukan dalam artian negatif, melainkan positif karena Sam Mendes mengambil segala kebaikan dari ketiganya untuk diangkat dalam film yang cukup personal baginya ini secara tepat.

Keterampilan Mendes bercerita dalam film ini yang palingg kentara adalah diterapkannya visualisasi yang seolah diambil lewat satu pengambilan gambar, dari awal hingga durasi berakhir. Pengalaman ini sudah didapatkan dalam film Birdman tentunya.

Dari parit garis pertahanan hingga parit garis terdepan film ini terangkai dalam satu pengambilan gambar berkesinambungan. Hanya ada satu jeda, namun jeda itu adalah representasi dari masa tak sadarnya karakter yang sedang diceritakan. Bisa saya bilang gaya penggarapan ini bukan semerta-merta muslihat atau gaya-gayaan, karena dengan seperti itu petualangan bersama dua kopral menembus rintangan menuju garis terdepan makin terasa intens dan mendekatkan penonton kepada dua kopral yang sedang dalam menjalankan misi berbahayanya.

Selain pengarahan Sam Mendes, adalah Roger Deakins, sang sinematografer, yang patut diapreasiasi lebih dalam film ini. Sebab, kerja kolaboratif yang harmonis antara visi dan eksekusi keduanya mampu menghadirkan sebuah karya yang mampu menjanjikan sebuah pengalaman sinematik yang langka.

Ini merupakan satu pencapaian sinematik yang patut dibicarakan dalam beberapa tahun ke depan. Bagaimana sebuah cerita diidentifikasi secara cermat, kemudian diudar untuk dipilih bagaimana ia dapat dipresentasikan secara dramatis dengan kemasan yang segar tanpa menghilangkan rasa yang hendak diresonansikan.

Berbicara tentang rasa, film ini dalam beberapa dialog sederhananya mampu membuat penonton makin bersimpati terhadap karakter utamanya. Film ini adalah salah satu pencapaian luar biasa dari seorang Sam Mendes, setelah American Beauty dan Road Perdition. (ila)

*Penulis adalah penggemar film dalam negeri dan penikmat The Chemical Brothers yang bermukim di Jogja Utara