Seorang warga Gunungkidul berbagi kisah hidup di lokasi wabah virus korona di Tiongkok. Semula berpikir untuk tetap tinggal di negeri itu. Namun, belakangan ia memilih pulang ke tanah air.

GUNAWAN, Gunungkidul, Radar Jogja

RADAR JOGJA – TEPAT pukul 23.00 Senin (3/2) lalu Arif Nur Rofiq tiba di kampung halamannya, Padukuhan Gembuk, Getas, Playen, Gunungkidul. Dia merupakan mahasiswa program beasiswa dan tinggal di Kota Jiangsu, Tiongkok, sejak 1,5 tahun lalu.

Terbang ke tanah air dari kota Yongzhou, Tiongkok bersama WNI lainnya. Dia tinggal di asrama kampus. Meski jarak tempat tinggal dengan Kota Wuhan, pusat ditemukannya virus korona jauh, dampak dari penyebaran virus mematikan itu sangat terasa.

Arif lalu membuka cerita perjalanan hidup ketika ditemui di rumahnya Selasa (4/1). Dikatakan, jarak tempuh ke Kota Wuhan sekitar empat jam perjalanan menggunakan jalur kereta api. Cukup jauh, namun belakangan diketahui serangan virus yang sangat berbahaya itu juga sampai ke tempatnya bermukim.

“Kami memperoleh info ada belasan orang di Kota Jiangsu positif korona. Situasi belakangan semakin memburuk, lalu saya memutuskan pulang ke Indonesia,” kata Arif.

Dia mengaku sempat terpikir untuk tetap bertahan, namun situasinya semakin tidak bersahabat. Tempat tinggalnya seperti kota mati. Rumah toko (ruko) banyak yang tutup. Akses kendaraan juga terbatas dan ada larangan dari kampus agar menjauh dari pusat keramaian. “Jadi kenyataan di Tiongkok itu bisa saya gambarkan begitu adanya. Memang seperti yang ada di pemberitaan,” ucapnya.

Bahkan, niat mengisi waktu libur kuliah dengan magang di sebuah hotel, akhirnya terhenti karena kekhawatiran penyebaran virus korona. Managemen tempat Arif bekerja memutuskan untuk menghentikan aktivitas.

“Selama tinggal di Jiangsu saya berada di kamar kampus, jarang keluar. Situasinya jauh berbeda jika dibanding sebelum muncul virus korona,” ungkap santri Pondok Pesantren Darul Quran Wal Irsyad Wonosari, Gunungkidul, ini.

Bagaimana dengan ketersediaan makanan? Selama ini ada kantin di lingkungan kampus. Cukup banyak makanan halal yang dapat dikonsumi. Itu artinya kebutuhan perut selama tinggal di lokasi virus korona aman.

“Namun sangat berbahaya jika saya tetap memaksakan diri untuk tinggal. Bismillah saya pulang kampung dan jika situasi aman siap berangkat lagi ke sana,” ungkapnya.

Arif lalu berkisah perjalananan ketika masuk ke pesawat. Di bandara hampir setengah pesawat diisi WNI. Setibanya di tanah air menjalani pengecekan kesehatan. Mulai dari suhu badan dan pengecekan tekanan darah. “Alhamdulillah. Sekarang sudah berada di tanah kelahiran,” terangnya.

Dia mengaku ingin menenangkan diri terlebih dahulu. Belum tahu kapan kembali melanjutkan kuliah. Informasi awal, 17 Februari 2020 masuk kuliah. Pihaknya juga belum berkomunikasi dengan pihak ponpes yang memberangkatkan ke Tiongkok ketika lalu.

Sementara itu, Maryatun, ibunda Arif terliat semringah saat ditemui. Dia mengaku lega bisa berkumpul dengan buah hatinya dalam kondisi baik dan sehat. (laz)