RADAR JOGJA – Buya Syafi’i Ma’arif meminta pemerintah mengkaji secara matang rencana pemulangan eks WNI anggota ISIS. Pertimbangan utamanya adalah stabilitas negara apabila pulang ke Indonesia. Mulai dari aspek sosial hingga keamanan negara.

Menurutnya pemulangan para anggota ISIS tak cukup dipandang dengan kacamata manusiawi. Pertimbangan keputusan harus benar-benar matang dan bijak. Terutama antara BNPT, BIN, Polisi dan TNI perlu duduk bersama.

“600 orang dipulangkan, serba repot. Mereka ini sudah dicuci otaknya oleh ISIS. Saya tidak tahu hidup mereka disana. Pastinya mereka dicuci dengannisu agama yang tidak punya dasar. Akhirnya memilih keluar dari Indonesia dan bergabung dengan Suriah Irak (ISIS),” jelasnya saat ditemui di kediamannya, Senin (10/2).

Dia memastikan akan muncul kontra apabila rencana ini terealisasi. Muncul penolakan terutama dari lingkungan masyarakat. Kedepannya, penolakan bisa memunculkan masalah baru. Terutama konflik horizontal antar masyarakat.

“Harus pertimbangkan juga sikap masyarakat kepada mereka (simpatisan ISIS). Apakah mau menerima atau justru timbul masalah,” ujarnya.

Buya menuturkan keputusan keluar sebagai WNI sangatlah fatal. Terlebih para simpatisan ISIS tersebut mengusung idiologi yang berbeda. Terbukti pada awal pernyataan keluar, tak mengakui berdirinya pemerintahan Indonesia dan idiologi Pancasila.

Dikuatkan pula dalam Pasal 23 UU Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006. Poin huruf (d) menyebutkan kehilangan kewarganegaraan disebabkan karena masuk dalam dinas tentara asing tanpa ijin terlebih dahulu dari Presiden.

Sementara huruf (f) menyebutkan secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut. Merujuk pada aturan itu, maka kewarganegaraan WNI yang bergabung dengan ISIS otomatis gugur.

“Mereka tidak izin keapda negara dan saya rasa mereka di sana juga tidak lapor dengan pemerintah yang sah. Ditambah mereka membakar paspor. Memutuskan untuk masuk dinas tentara asing yang dimiliki ISIS,” katanya.

Adanya program deradikalisasi milik pemerintah tak sepenuhnya menjamin. Berkaca pada kasus-kasus sebelumnya, tidak sepenuhnya mantan kombantan bertobat. Ada yang menjadikan sebagai kedok. Hingga akhirnya aktif terselubung dalam wajah baru.

“Deradikilasi ada yang berhasil ada yang tidak. Kalau sudah terpapar itu sulit sekali, apalagi ini bicara idiologi. Yang diusung masuk ke ranah teologi yang mematikan akal sehat,” ujarnya.

Walau begitu Buya juga tak sepenuhnya melarang pemulangan simpatisan ISIS tersebut. Hanya saja dia menekankan perlu totalitas pemerintah. Termasuk melibatkan mantan kombantan yang sudah kembali mengakui Indonesia.

“Ajak orang yang paham betul karakter mereka. Seperti mantan teroris yang bertobat Nasir Abbas. Sekarang justru aktif membantu polisi untuk mendeteksi dan deradikalisasi,” katanya. (dwi/tif)