JOGJA – Genap dua pekan sejak diresmikan Gubernur DIJ Hamengku Buwono X pada Selasa (9/1) keberadaan toilet underground di Taman Senopati, Kota Jogja, belum juga berfungsi normal. Hingga Senin (22/1) toilet yang dibangun dengan biaya lebih Rp 5,8 miliar itu masih diberlakukan sistem buka tutup. Itu lantaran Pemprov DIJ belum menunjuk pengelola secara resmi. Untuk sementara pengelolaan fasilitas umum yang disebut-sebut sekelas toilet di hotel bintang lima itu masih menjadi kewenangan pelaksana proyek.

Kami masih mengurus administrasi pemenang lelang pengelola toilet,” dalih Plt Kepala Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Energi Sumber Daya Mineral (PUP-ESDM) DIJ M. Mansur kemarin. Proses lelang tak hanya bagi perusahaan yang bersedia mengelola toliet. Tapi juga untuk tenaga cleaning service dan satpam.

Mansur mengakui operasional toilet di depan Kantor Perwakilan Bank Indonesia DIJ itu masih sangat terbatas. Toilet ditargetkan bisa berfungsi normal secara konsisten mulai Februari mendatang. “Selama setahun pertama pengelolaan toliet tetap jadi tanggung jawab pemprov. Makanya tetap digratiskan,” lanjutnya.

Sementara Kepala Pelaksana Proyek Pembangunan Toilet Underground Wintawan Alka mengklaim, perbaikan fasilitas toilet di kawasan Titik Nol Kilometer Jogja itu telah rampung secara keseluruhan. Termasuk semprotan air toilet yang menurut gubernur kurang kencang juga sudah diperbaiki. Wintawan mengakui jika sejak diresmikan toilet tersebut lebih sering ditutup. Dia beralasan bukan karena perbaikan, melainkan persoalan operasional. “Itu nanti kami serahkan ke pemprov. Termasuk teknisi pengatur pompa dan wheelchair (semacam lift untuk difabel, Red),” ungkapnya.

(GRAFIS: HERPRI KARTUN/RADAR JOGJA)
Lahan bekas Bioskop Indra (FOTO: GUNTUR AGA/RADAR JOGJA)

Selain menargetkan operasional penuh toilet underground tahun ini, Dinas PUP-ESDM DIJ menyiapkan proyek revitalisasi kawasan Malioboro tahap tiga. Salah satunya pembangunan tempat relokasi pedagang kaki lima (PKL) Malioboro di lahan bekas Bioskop Indra. “Proyek ini dikerjakan mulai Maret,” ujar Mansur.

Proyek “mal” bagi para PKL diperkirakan menelan dana hingga Rp 40 miliar. Target rampung awal 2019. Bangunan dikonsep empat lantai untuk menampung 400 pedagang.

Basement diperuntukkan sebagai tempat menyimpang gerobak PKL. Sedangkan lantai dasar untuk pedagang makanan kering. Lalu lantai satu khusus penjual souvenir. Sementara lantai dua untuk berjualan pakaian.

Tak jauh dari bangunan utama masih ada sisa lahan seluas 2.240 meter persegi yang direncanakan untuk taman kuliner. Taman kuliner berdaya tampung 79 pedagang. “Di sana untuk berjualan makanan basah,” jelasnya.

Mansur mengaku belum menerima data resmi tentang jumlah PKL di sisi barat Malioboro yang akan dipindah ke mal tersebut. Hal itu masih akan dibicarakan dengan Pemkot Jogja. Relokasi PKL tetap berada di kawasan Malioboro merujuk arahan gubernur. Sebab, PKL tetap menjadi salah satu kekuatan utama Malioboro untuk menjaring wisatawan. “Tanpa PKL Malioboro tidak akan meriah,” katanya.

Relokasi PKL tidak hanya menyentuh pedagang yang ada di kawasan Malioboro. PKL di depan Hotel Inna Garuda yang berjajar sepanjang 107,4 meter. Kemudian PKL di depan kantor Dinas Pariwisata DIJ (52,8 meter), PKL depan gedung DPRD DIJ (71,1m), PKL depan Kepatihan (72,5m), serta PKL Cendrawasih, Mirota Batik, dan gereja sepanjang 78,7 meter. Juga 37 PKL di depan Pasar Sore.

Wali Kota Jogja Haryadi Suyuti menyatakan siap mengikuti arahan teknis Pemprov DIJ. Data yang dikantongi ada 780 PKL yang menjadi sasaran penataan. (bhn/yog/mg1)