Keraton Yogyakarta genap berusia 271 tahun berdasar penanggalan kalender Jawa. Sejak berdiri pada Kamis Pon 29 Jumadil Awal 1680 Tahun Jawa atau 13 Maret 1755, Keraton Yogyakarta telah mewarnai derap kehidupan masyarakat.

Menenguhkan keberadaan Keraton Yogyakarta yang telah berkiprah secara nyata selama berabad-abad, Raja Keraton Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono Ka 10 senantiasa memegang teguh prinsip untuk menjadikan masyarakat lebih sejahtera.

Dalam berbagai kesempatan, Sri Sultan Hamengku Buwono Ka 10 menegaskan komitmennya untuk menjadikan masyarakat makmur dan sejahtera. Keraton Yogyakarta selalu berusaha melangkah bersama masyarakat.

Sri Sultan Hamengku Buwono Ka 10 memberikan contoh, untuk memindahkan atau merelokasi warga atau masyarakat yang terdampak bencana harus dilakukan dengan berbagai pertimbangan. Relokasi tidak bisa dilakukan hanya dengan memindahkan mereka ke tempat lain yang dinilai lebih aman.

Sebagai raja yang sekaligus memikul amanah sebagai gubernur, Sri Sultan Hamengku Buwono Ka 10 menegaskan, relokasi yang dilaksanakan harus memperhatikan sisi kesejehteraan. Dengan demikian, pelaksanaan relokasi warga akibat bencana harus memberikan jaminan mereka akan hidup lebih baik dan lebih sejahtera.

“Jadi, beda dengan di daerah lain. Di daerah lain, relokasi ya tinggal direlokasi ke tempat yang aman. Kalau di Jogjakarta, ada tambahan yaitu mereka yang direlokasi harus sejahtera. Tidak sekadar dipindah,” jelasnya.

Semangat untuk memberikan manfaat nyata bagi masyarakaat tersebut selaras dengan isi pidato yang diucapkan Sri Sultan Hamengku Buwono Ka 10 ketika jumenengan (naik takhta) pada 7 Maret 1989. Pidato “Tahta untuk Kesejahteraan Sosial dan Budaya Rakyat” tersebut memuat lima tekad.

Tekad pertama adalah untuk tidak mempunyai prasangka, rasa iri dan dengki, serta tetap hangrengkuh kepada siapa pun, baik terhadap mereka yang senang maupun yang tidak senang. Bahkan, juga terhadap yang menaruh rasa benci.

Tekad kedua adalah untuk lebih banyak memberi jika dibandingkan dengan menerima. Tekad ketiga adalah untuk tidak melanggar paugeran negara.

Tekad keempat adalah untuk berani mengatakan yang benar adalah benar dan yang salah adalah salah. Sedangkan tekad kelima adalah untuk tidak memiliki ambisi apapun, selain senantiasa berusaha bagi kesejahteraan rakyat.

Kelima tekad tersebut senantiasa mendasari setiap langkah Sri Sultan Hamengku Buwono Ka 10. Hadeging 271 Keraton Yogyakarta menjadi momentum untuk semakin meneguhkan takhta untuk rakyat. (*/amd/mg1)