JOGJA – Jogjakarta punya cukup kedekatan dengan Sumba, Nusa Tenggara Timur. Bagaimana tidak, kurang lebih 3.000 mahasiswa Sumba mengenyam pendidikan di kota pelajar. Maka penting memberikan wadah sebagai jembatan saling mengenal antara komunitas Sumba dengan masyarakat luas Jogjakarta.

Laboratorium Antropologi untuk Riset dan Aksi (Laura) Departemen Antropologi UGM mengadakan Festival Sumba. Dimulai Selasa (23/10) hingga Rabu (31/10) pekan depan, berbagai mata acara digelar untuk memperkenalkan Sumba kepada warga DIJ.

“Ada simposium, workshop, dan diskusi pemutaran film, pameran, serta pagelaran seni,” cerita Fransiscus Apriwan dari Laura UGM.

Dia menjelaskan, Laura UGM adalah lembaga yang menginisiasi Festival Sumba. Menurut Iwan, sapaannya, ide untuk mengadakan acara sudah terbersit sejak satu setengah tahun lalu.

“Waktu itu tim Laura UGM sempat tinggal di Sumba untuk mengadakan riset. Singkat cerita kami merasa jatuh cinta dengan Sumba dan merasa bahwa apa yang kami rasakan itu mesti disebarkan juga ke orang lain. Akhirnya terwujudlah festival ini,” ujarnya.

Festival Sumba terbilang cukup menarik karena hampir semua narasumber atau pengisi acara  adalah mereka yang punya pengalaman personal dengan Sumba. Entah jatuh cinta karena pernah tinggal di sana, menggunakan Sumba sebagai inspirasi berkarya, hingga memakai Sumba
sebagai latar pembuatan film.

“Bukan sekadar mengenalkan Sumba sebagai sebuah tempat saja, tapi kami ingin para narasumber atau pengisi acara dapat bercerita pengalaman personalnya masing-masing tentang Sumba. Karena merupakan pengalaman personal pasti akan ada banyak ragam perspektif cerita, ini
yang menarik untuk dibagikan,” kata Iwan.

Misalnya saja pada Kamis malam (25/10), penampil yang hadir adalah Bottlesmoker. Band electropop beranggotakan Anggung “Angkuy” Suherman dan Ryan “Nobie” Adzani ini dengan senang hati meramaikan Festival Sumba karena beberapa lagu mereka di album Parakosmos terinspirasi dari seni tradisi di Sumba. (ata/ila)