Djaduk Ferianto tak pernah berhenti berkreasi. Dikenal sebagai musisi, penari, aktor teater, sekaligus sutradara. Seniman 54 tahun ini masih terus gelisah. Kegelisahan itu dituangkannya lewat karya fotografi. Bertajuk “Meretas Bunyi”.
DWI AGUS, Jogja
Mendung menyapa langit Jogjakarta sepanjang Sabtu (15/12). Sendunya langit tidak berdampak bagi seorang Djaduk Ferianto. Hari itu justru menjadi hari pembuktian baginya. Dia mengemas sebuah karya seni fotografi.
Kesibukan mulai terasa saat Radar Jogja mendatangi Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) sore itu. Pria kelahiran Jogjakarta, 19 Juli 1964 terlihat hilir mudik. Maklum, hanya dalam hitungan jam pameran tunggalnya dibuka perdana.
Mengenakan kaus merah menyala dipadu celana jins, Djaduk menyempatkan diri menyapa para kuli tinta. Dia menjelaskan detail konsep pamerannya. Mulai perburuan objek hingga pemilihan karya. Yang dipamerkan hingga Minggu (23/12) mendatang. “Bagi saya ini adalah sawah seni dalam merawat kegelisahan. Salah satu wujud kegelisahan itu saya tampilkan dalam setiap frame foto,” ungkapnya.
Pemilihan judul Meretas Bunyi dilaluinya dengan perenungan panjang. Bersama para kerabatnya. Dalam kurun waktu satu tahun. Maknanya masih berkaitan dengan profesinya sebagai musisi.
“Meretas fotografi untuk praktik bunyi. Begitu juga sebaliknya. Meretas kumpulan bunyi ke dalam fotografi. Wolak-walik dan saling berhubungan,” kata pemilik nama lengkap Gregorius Djaduk Ferianto.
Semula adik seniman Butet Kertaradjasa itu ingin membuat buku. Namun urung dilakukannya. Berkat saran seorang sahabat terbesitlah ide pameran fotografi.
Karya yang dia pajang merupakan hasil perburuan medio 2012 hingga saat ini. Konsep foto human interest lebih mendominasi. Dari sekian banyak karya yang dipajang.
Manusia menjadi objek utama. Baik dalam interaksi sesama manusia maupun keseharian. Ada pula landskap pemandangan alam berbagai wilayah di Indonesia. Seluruhnya terangkum apik dalam setiap frame.
“Kadang berburu sendiri, kadang bersama teman-teman. Saya ikut komunitas fotografi GS, gembira selalu. Anggotanya asyik-asyik. Dolan-dolan sekaligus moto-moto,” bebernya.
Untuk mengemas sebuah karya, Djaduk tidak asal jepret. Baginya ada ilmu pakem yang menjadi kekuatan dalam berburu foto. Dia mengistilahkannya sebagai ngeng. Baginya, ngeng adalah sebuah panggilan dan hasrat untuk mengabadikan sebuah momentum.
“Kalau saya enggak dapat ngeng ya tidak saya jepret. Meski kadang teman-teman bilang objek itu bagus.Tapi kalau ngeng saya tidak jalan ya enggak saya ambil,” ujarnya.
Di gerbang awal Djaduk menghadirkan foto portrait tukang parkir. Pria berjenggot tersebut dia temui saat bertandang di Maumere, Papua.
Foto ini hadir dalam frame berukuran 1,5 meter X 1 meter. Sedangkan karya yang dipajang paling bontot berupa foto sebuah gitar akustik di atas sebuah genting rumah.
“Nah, nasibnya musisi kayak begini. Seperti gitar di atas genting. Saya meminta secara khusus kepada kurator agar foto ini ditaruh paling akhir. Maknanya, silakan interpretasikan sesuai ngeng masing-masing,” candanya.
Tak satu pun foto yang dipamerkan disertai caption. Seluruhnya dikemas dalam bingkai putih polos. Tertempel rapi di empat penjuru dinding BBY.
Bukan tanpa alasan Djaduk membiarkan karyanya tanpa secarik tulisan. Yang menjelaskan isi foto. Karena dia ingin mengajak penikmat karyanya. Untuk ikut menyelami setiap foto. Karena setiap karya bagi dia adalah buah pemikiran yang bebas. Setiap pengunjung tentu memiliki interpretasi berbeda-beda.
“Saya mengajak pengunjung hadir dengan ngeng mereka. Ini lho ngeng ala saya. Kalau ngeng kalian gimana,” ungkap pentolan grup musik Kua Etnika itu.
Dari 83 foto yang terpajang, hanya satu karya yang dikemas dalam nuansa biru. Berupa lanskap pemandangan desa di Nanggulan, Kulonprogo. Djaduk mengibaratkan foto itu sebuah oase dalam pamerannya. Sedangkan 82 foto lainnya bernuansa hitam putih.
Djaduk punya alasan tersendiri. Soal foto hitam putih itu. Dia teringat ketika muda. Dulu. Kala itu dia tengah menjalani sebuah seni pertunjukan. “Waktu itu saya bertemu wartawan yang juga fotografer, Ali Said, sekitar 1979. Dia mengabadikan seni dengan konsep foto hitam putih. Semenjak itu saya cinta dengan foto hitam putih,” katanya.
Itulah Djaduk. Yang tak akan pernah berhenti berkarya. Dia akan tetap mengalir bersama seni tari, gamelan, dan musik seni pertunjukan. Fotografi adalah sebuah sudut pandang baru yang turut mewarnai perjalanan seninya.
“Saya itu sekolah formalnya seni rupa tapi hidupnya di musik. Fotografi bagi saya tak ubahnya seperti ilmu seni lainnya. Berupa kumpulan energi sensitivitas yang berhubungan dengan peristiwa dan bercerita melalui setiap frame foto,” ujarnya. (yog)