SALAH SATU khazanah kebudayaan Islam yang hidup di Indonesia adalah seni Kaligrafi, yang telah berkembang sejak abad ke-11 M, dengan ditemukannya makam Fatimah binti Maimun di Gresik dengan tulisan kaligrafi pada batu nisannya.
Kaligrafi menjadi salah satu seni yang banyak diminati di Indonesia hingga kini. Banyak pesantren-pesantren di Indonesia yang khusus mempelajari seni kaligrafi seperti LEMKA (Lembaga Kaligrafi al-Qur’an) di Sukabumi, Jawa Barat, PSKQ (Pesantren Seni Kaligrafi al-Qur’an) modern di Kudus, Jawa Tengah, dan sebagainya.
Selain pesantren-pesantren, berbagai kampus Islam di Indonesia ikut memberi wadah bagi mahasiswa yang memiliki minat pada bidang kaligrafi untuk mempelajari seni kaligrafi seperti UKM JQH al-Mizan UIN Sunan kalijaga Jogjakarta, UKM Kaligrafi el Kareem STKIP Nurul huda Sumatera Selatan, UKM PSQ al-Mufid STAI Sunan Pandanaran Jogjakarta, UKM UPTQ UIN Sultan Maulana Hasanudin Banten. Selain itu, pondok pesantren maupun madrasah juga banyak yang menyediakan kegiatan ekstra kaligrafi yang menggandeng UKM di universitas untuk menjadi pengajar kaligrafi.
Di Jogjakarta sebagai kota berbudaya, berkali-kali lomba kaligrafi antar mahasiswa diadakan tiap tahunnya oleh berbagai perguruan tinggi baik Islam maupun umum, MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur’an) juga telah memasukkan cabang kaligrafi untuk diperlombakan yang terdiri dari cabang Naskah, Mushaf, Dekorasi, Kontemporer, dan sekarang sedang di upayakan oleh tokoh-tokoh kaligrafi Indonesia untuk menambahkan cabang kaligrafi digital untuk turut diperlombakan pada MTQ.
Perkembangan ini disambut baik oleh para kaligrafer tanah air, sebab ada dua faktor yang menguntungkan. Pertama, kaligrafi Islam dengan bentuk modern yang diciptakan dengan bantuan teknologi menjadi lebih diakui dan terlihat sesuai dengan perkembangan teknologi. Kedua, dengan ditambahnya cabang perlombaan, maka akan membuka peluang pendistribusian juara untuk kaligrafer-kaligrafer yang susah mendapat tempat di tanah air karena selama ini.
Berbeda dengan cabang kontemporer yang tidak berdasar pada kaidah khat karena lebih menitikberatkan pada kreativitas seniman. Hal tersebut justru menjadi problematika baru yang muncul karena ketidakjelasan dalam penilaian disebabkan adanya perbedaan selera juri yang akhirnya memunculkan konflik antar tokoh kaligrafer Indonesia yang sekarang disimpan dalam kotak rahasia.
Dibalik pesona estetik dan transendental, terdapat anomali yang justru mendegradasi seni Islam khususnya kaligrafi itu sendiri. Kaligrafi dalam ajang perlombaan di Indonesia mempertarungkan pakar-pakar kaligrafi kampus, baik lomba tingkat regional maupun nasional, begitu pula dengan MTQ. Hal ini seakan menjadi hiburan dan ajang kompetisi untuk menghasilkan nama-nama khattat dan khattatah terbaik.
Sehingga lembaga maupun organisasi kaligrafi berjuang untuk menghasilkan kader-kader unggul yang menguasai kaligrafi agar dapat bersaing pada ajang perlombaan nantinya. Kaligrafi akhirnya menjadi sebuah ajang kompetisi untuk mencari siapa yang unggul dalam cabang perlombaan. Sementara para penonton terkagum-kagum melihat lekukan-lekukan huruf yang ditulis oleh para khattat dan khattatah yang berkompetisi meskipun tidak bisa membaca tulisannya.
Menurut penulis, hal diatas justru menjadi virus yang harus segera diatasi dalam dunia kaligrafi Indonesia. Ajang perlombaan yang semata-mata untuk adu kesaktian dalam menguasai jurus-jurus kaidah khat justru akan mengakibatkan para kaligrafer lupa terhadap potensi yang terdapat dalam kaligrafi. Kaligrafi merupakan warisan sejarah peradaban Islam yang mengandung sisi komunikatif dengan para penikmat seni, karena melalui kaligrafi-lah seorang kaligrafer menuangkan gagasan-gagasannya.
Kaligrafi yang selama ini hanya menjadi ajang pamer bakat harus mulai diubah, agar kaligrafi yang berisi ayat-ayat al-Qur’an dapat terkoneksi dengan dunia tempat kita tinggal.
Jika yang ditulis dalam perlombaan adalah al-Qur’an, mengapa yang dinilai hanyalah terbatas pada kebenaran kaidah, imlak, dan hal-hal yang kurang memperlihatkan semangat al-Qur’an itu sendiri? Bukankah akan lebih canggih untuk juga melirik sisi komunikatif dalam sebuah karya seni dengan mendesain ulang konsep perlombaan dengan penilaian pada sisi estetika sekaligus sisi komunikatif seperti pesan yang disodorkan oleh kaligrafer dalam karyanya sehingga dapat dinilai ketajaman argumen baik berupa kritik maupun gagasan pembaharuan. Dengan begitu akan lahir kaligrafer-kaligrafer yang akan berbicara tentang keadilan sosial, ketidakadilan ekonomi, dan sebagainya. Begitu pula dalam pemilihan tema yang selama ini hanya berupa ayat-ayat yang berbicara tentang alam metafisika, berbuat baik terhadap orang tua dan ayat-ayat lainnya yang sebenarnya sudah dihafal oleh para santri, sekiranya ayat yang di perlombakan mulai mengarah pada keadaan sekitar. Karena banyak ayat-ayat yang berbicara tentang ekonomi, hukum, gender dan sebagainya yang merupakan isu-isu yang terus bergulir yang menjadi permasalahan bangsa. Transformasi model perlombaan seperti ini sangat diperlukan untuk menyelamatkan kaligrafer agar tidak lupa dengan dunia.
Untuk menutup tulisan ini, maka penulis sebagai praktisi lomba kaligrafi akan kutipkan pernyataan Nietsche dalam buku zarathustra, “Bumi adalah tempat berpijak bagi manusia, bukan alam lain. Dengan begitu, berbuatlah bagi bumi”. (ila)
* Penulis merupakan mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta