Pengalaman yang kami rasakan.  Barangkali juga sama dengan yang dirasakan oleh orang tua lain. Menunggu ujian nasional. Seperti seseorang sedang menanti detik-detik memperoleh jabatan menteri. Hatinya berdebar. Presiden jadi menelpon atau tidak. Kalau presiden tidak menelpon berarti jabatan menteri tidak diamanahkan kepadanya. Sebaliknya. Bila presiden menelpon. Berarti sudah terbayang. Dirinya akan dilantik presiden sebagai menteri.

Suasana keluarga kami tak jauh berbeda. Menunggu penantian hasil ujian nasioal. Suasana batin. Mirip saat seseorang diberi info untuk menduduki jabatan menteri. Was-was. Hasilnya baik atau buruk.

Menjelang pengumuman hasil ujian nasional berada di Malang. Mengisi liburan bersama keluarga inti. Setelah disibukkan oleh prosesi lebaran. Bersama sanak saudara. Tetangga. Teman. Kolega. Tentu saja. Kami bersama istri dan anak. Tidak terlalu menikmati liburan. Masih ada yang mengganjal. Nilai ujian nasional anak sulung belum keluar.

“Yah. Kalau nilai di atas dua lima. Kakak minta liburan ditambah ke Taman Safari. Tapi kalau dibawah dari dua lima. Lebih baik pulang saja, “ kata anak sulung setelah bangun tidur.

Pagi itu. Suasananya menegangkan. Karena tinggal beberapa saat lagi akan mengetahui hasil ujian nasional yang telah lama diperjuangkannya. Saya memahami kalau anaksulung resah. Nilai ujian nasional bagi dirinya merupakan pertaruhan harga diri. Pertaruhan tolok ukur keberhasilan. Pertaruhan kredibilitas dihadapan teman-teman, guru, maupun orang tua.

Realitas psikologis anak sulung itu terbangun karena belajar dari kerangka pikir  lingkungan sebelumnya. Teori belajar sosial mengajarinya untuk melihat nilai ujian sebagai prestasi luar biasa. Mewakili segala-galanya tentang kemampuan peserta didik. Kalau ujian nasional moncer. Anak dipersepsikan sebagai peserta didik yang hebat. Tapi kalau nilai ujian nasional meredup. Anak dianggap sebagai peserta didik yang gagal.

Paradigma memandang ujian nasional sebagai sesuatu yang gagah. Membuat peserta didik berjuang sangat keras mengupayakan agar nilai ujian nasional tinggi. Membikin anak terikat ujian nasional.

Anak sulung melakoninya. Persiapan itu dijalani 2 tahun sebelum ujian nasional hadir. Sejak kelas lima sekolah dasar sudah mengikuti les mata pelajaran yang diujikan secara nasional. Kelas enam lebih intensif lagi. Setiap hari selalu  latihan soal-soal. Minimal tiga puluh soal per hari.

Selain mempersiapkan ujian nasional. Belum lagi beban belajar full day school. Belajar di sekolah sampai jam setengah empat. Lelah belum berajak. Sudah harus dibebani mengikuti les. Atau belajar tambahan mengerjakan soal-soal di rumah.

Pernah anak sulung bertanya. “ Yah. Kakak  belajar selama enam tahun. Tapi mengapa nasib kakak hanya ditentukan selama tiga hari, “tanya anak sulung. Pertanyaan kritis anak sulung ada benarnya. Hak anak sulung menanyakan hal tersebut. Anak sulung sudah belajar selama enam tahun. Nasibnya tergantung dari nilai ujian nasional yang dikerjakan selama tiga hari.

Tidak gampang menjawab pertanyaan anak sulung. Perlu argumentasi memadahi untuk memberi penjelasan. Perlu dicari jalan tengah. Tidak mematahkan semangat belajar mempersiapkan ujian nasional. Dan dirinya bisa memahami. Nilai ujian nasional bukan satu-satunya penentu seseorang meraih sukses. Ada banyak faktor lain untuk membuat orang menjadi berhasil dalam hidupnya. Diantaranya adalah menetapkan tujuan, bekerja keras, serta bisa membagi waktu.

Pemahaman itu yang saya gunakan untuk memberi jawaban pada anak sulung. Ujian nasional jangan menjadi tujuan akhir satu-satunya. Ujian nasional merupakan sarana belajar  menetapkan tujuan. Anak sulung memiliki target capaian nilai.Menetapkan target nilai sebagai bagian belajar menetapkan tujuan.

Agar target nilai bisa diraih perlu disertai belajar di atas rata-rata. Maka ujian nasional sesungguhnya menjadi bagian dari belajar untuk bekerja keras. Tidak ada pencapaian yang maksimal tanpa kerja keras. Kerja keras akan berbuah hasil yang positif. Ujian nasional justru memberi kesempatan  menanamkan nilai-nilai semangat kerja keras.

Ujian nasional  juga bagian dari belajar membagi waktu. Persiapan ujian nasional jadwal anak sulung sangat padat. Sekolah sampai sore. Masih harus les. Masih harus belajar lagi di rumah. Menjadi sibuk. Berarti belajar membagi waktu.

Jawaban pada anak sulung saya beri closing. Apapun hasilnya diterima. Harus siap mental. Yang penting selama proses mempersiapkan ujian nasional sudah dilakukan dengan sungguh-sungguh. Ayah. Bunda. Akan menghargai apapun hasilnya.

Penantian yang mendebarkan akhirnya tiba. Sebagai orang tua harus siap kemungkinan yang terjadi. Selalu saya suarakan dalam hati. Apapun hasilnya. Diterima. Beri apresiasi. Ambil hikmahnya.

Dan ternyata sebagi orang tua bersyukur. Hasil nilai ujian nasional anak sulung menggembirakan. Liburan pun dilanjutkan. Tidak jadi pulang. Sebagai bentuk apresiasi. Anak sudah berjuang keras…!!!