JOGJA – Pemkot Jogja bersama Kundha Kabudayan atau Dinas Kebudayaan DIJ terus mewacanakan penataan fasad bangunan di Malioboro. Tapi waktu eksekusi belum juga ditentukan.

Pemkot Jogja sendiri menggunakan Peraturan Wali Kota Jogja Nomor 85 Tahun 2011 sebagai dasarnya. Dalam aturan baku tersebut disebutkan konsep pemasangan papan iklan atau reklame di kawasan Malioboro.

Detailnya, setiap iklan luar ruang di Malioboro harus memenuhi ketentuan. Berupa jenis billboard, cahaya, kain atau plastik serta balon. Juga tidak menutup ornament dan arsitektur bangunan. Faktanya papan iklan yang terpasang justru diluar ketentuan.

“Nah yang melanggar itu yang menutup seluruh fasad atau sisi luar atau bagian depan bangunan. Padahal jika dirunut Malioboro adalah kawasan cagar budaya.  Karakternya itu di ornament bangunan bukan papan iklannya,” jelas Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kota Jogja Agus Winarto Rabu (14/8).

Agus mengaku berkoordinasi dengan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Malioboro selaku penanggungjawab wilayah. Termasuk mendata reklame yang melanggar aturan. Langkah selanjutnya adalah melakukan teguran hingga sanksi penertiban.

Untuk waktu, mantan Camat Umbulharjo itu belum bisa menentukan masa penertiban. Ini karena wewenang awal sepenuhnya berada di UPT Maliboro. Namun dia meyakini bahwa UPT Malioboro telah mengantongi data pelanggaran. Khususnya yang menutupi seluruh fasad bangunan di sepanjang Malioboro.

“Dari Dinas Kebudayan DIJ sudah menyampaikan ada penertiban. Kalau jumlah pastinya saya belum tahu, tapi sepertinya banyak. Bentuknya ada yang banner dalam ukuran besar dan dipasang di fasad bangunan atau melintang jalan,” katanya.

Sedang Wakil Wali Kota Jogja Heroe Poerwadi meminta warga kawasan Malioboro mendukung penataan kawasan tersebut. Terlebih tujuannya menampilkan karakter Jogjakarta sesungguhnya. Termasuk dalam hal arsitektur dan penataan bangunan.

Salah satu fokus utama adalah penertiban papan iklan. Menurut dia tidak semua papan iklan memenuhi nilai estetika. Bahkan sebagian besar justu menutupi lekukan bangunan aslinya. Padahal setiap bangunan memiliki karakter arsitektur yang kuat.

“Kalau kami menata bukan berarti ingin merusuhi tapi untuk kebaikan bersama. Kota Jogja harus memiliki karakter kuat, termasuk dalam bentuk bangunannya. Malioboro itu indah, sayangnya beberapa bangunan tertutupi papan iklan,” jelasnya.

Penataan ini sendiri memiliki tautan dengan program Gandhes Luwes. Selain arsitektur adapula tata kota, seni, budaya, pakaian hingga penataan wajah kota. Termasuk bentuk dan peningkatan kualitas pelayanan publik.

“Penataan di Malioboro bukan hanya untuk bangunan saja. Kedepan para Jogoboro juga menggunakan pakaian khas saat bertugas. Tentunya yang menonjolkan budaya tradisi Jogjakarta,” ujarnya.(dwi/pra/er)