RADAR JOGJA – Banyak erguruan tinggi negeri maupun swasta berdiri di wilayah Kabupaten Sleman. Namun tak semua warga Sleman bisa mengenyam pendidikan tinggi. Terutama warga kurang mampu. Pun adanya beasiswa prestasi dan bidik misi. Belum merata di semua lini.

Anggota DPRD Sleman M. Agus Mas’udi berpendapat, sudah saatnya pemerintah daerah tak sekadar mewajibkan program pendidikan dasar sembilan tahun. Tapi lebih dari itu.  Mengingat banyaknya perguruan tinggi di Sleman.

Gus Ud, sapaan akrabnya, tak memungkiri dampak positif maraknya perguruan tinggi di Sleman. Sebagian warga di sekitar lingkungan kampus juga ikut menikmati keuntungan. Misalnya dengan menjajakan kuliner atau menjadi penyedia kos-kosan. Tapi bukan itu goal-nya. Karena keuntungan itu hanya bisa diperoleh warga yang memiliki kekuatan modal. Tidak demikian bagi warga miskin.

Gus Ud tak ingin warga Sleman hanya menjadi penonton keberhasilan orang lain (pendatang). “Jangan sampai warga Sleman hanya bisa melihat orang kuliah, tapi tidak bisa kuliah,” tegasnya Rabu (16/10).

Menurutnya, warga Sleman seharusnya bisa berpendidikan minimal sarjana. Hal tersebut sangat memungkinkan. Asal didukung kebijakan pemerintah daerah. Serta berpegang hubungan baik antara pemerintah daerah dengan masing-masing universitas.

Warga Sleman selayaknya mendapat privilege (hak istimewa) untuk diterima di perguruan tinggi yang ada. Gus Ud mencontohkan adanya kuota khusus di kampus-kampus tertentu bagi calon mahasiswa asal daerah tertinggal dan terluar Indonesia.

Oleh karena itu diperlukan terobosan oleh Pemerintah Kabupaten Sleman. Untuk memberanikan diri membuat privilege tersebut. Agar perguruan tinggi yang ada di Sleman memberikan kuota dan prioritas bagi warga asli Sleman. Meski tidak berprestasi tinggi. Dan gratis bagi siswa dari keluarga miskin. “Supaya minimal ada satu sarjana di setiap keluarga. Khususnya di keluarga miskin,” ujar tokoh asal Padukuhan Pasekan RT 20 / RW 40, Maguwoharjo, Depok, Sleman.

Sarjana pada keluarga miskin diharapkan mampu mendongkrak perekonomian keluarga. Artinya, semakin banyak sarjana pada keluarga kurang mampu, niscaya angka kemiskinan di Sleman bakal menurun. “Kemiskinan itu kan salah satu faktor penyebabnya karena pendidikan yang rendah,” ungkap politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu.

Alumnus Teknik Kimia, Universitas Gadjah Mada (UGM) itu berharap warga Sleman bisa menjadi subjek pembangunan. Pada semua bidang. Di sektor pariwisata, misalnya. Warga Sleman harus bisa menjadi pelaku. Bukan hanya menjadi “penikmat” kemacetan lalu lintas. Sebagai dampak pesatnya kemajuan pariwisata di Sleman maupun Provinsi DIJ. “Ini juga butuh policy pemerintah daerah,” kata pria kelahiran 13 Juli 1971.

Keberadaan desa-desa wisata harus didorong lebih maju dan modern. Untuk menangkap peluang kunjungan wisatawan. Baik domestik maupun mancanegara. Pemerintah harus lebih mengarahkan wisatawan menginap di homestay daripada di hotel-hotel berbintang.

Di sisi lain, pemerintah daerah harus memberikan pendampingan dan pembinaan kepada masyarakat. Agar lebih sadar wisata. Supaya bisa turut merasakan hasil kemajuan pariwisata. Sehingga  lebih sejahtera. “Kalau wisatawan diarahkan menginap di hotel-hotel berbintang sama saja masyarakat hanya akan menikmati macetnya jalanan. Apalagi saat weekend atau peak season,” bebernya.

Begitu pula dengan pertumbuhan investasi. Pemerintah daerah harus  mengutamakan perusahaan baru yang bisa menyerap banyak tenaga kerja. Dan diwajibkan menerima warga lokal sebagai pekerja. Gus Ud menyebutnya investasi padat karya.

Sedangkan terkait kebijakan pemerintah pusat soal tol, Gus Ud mengingatkan pemerintah  daerah untuk berkaca pada kondisi kota/kabupaten di sepanjang Pantai Utara Jawa (Pantura). Yang perekonomian sebagian penduduknya mati gara-gara tol. (*/yog/laz)