RADARJOGJA – Proses penertiban tambak udang di selatan Yogyakarta International Airport (YIA) Temon, Kulonprogo, Kamis (31/10) diwarnai kericuhan.

Warga pemilik tambak harus berhadapan dengan aparat setelah menghadang dan menduduki alat berat (backhoe) yang hendak meratakan tambak.
Warga yang tidak puas juga sempat membakar gubug yang biasa digunakan untuk menunggui tambak.

Sebelumnya, warga juga melakukan aksi blokir jalan wisata Pantai Glagah hingga Congot dengan bambu, batang pohon, dan beberapa matetial lain.

Ratusan aparat kepolisian, TNI, dan Satpol PP yang sudah bersiaga di Pantai Congot, akhirnya membongkar blokade jalan. Namun penertiban tak kunjung dilakukan hingga pukul 13.00.

Penundaan itu, salah satunya memberi kesempatan perwakilan warga pemilik tambak yang mendatangi DPRD untuk meminta fasilitas penundaan penertiban.
Namun, pertemuan itu juga berakhir tanpa keputusan alias deadlock. Hingga akhirnya pukul 14.00 penertiban dilakukan.

Tiga alat berat mulai turun dikoordinasi Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kulonprogo dengan pengamanan ketat anggota kepolisian, TNI, dan Satpol PP.

Alat berat mulai merangsek dan meratakan tambak mulai dari sisi barat.
Hingga akhirnya satu backhoe sempat disandera dan diduduki warga yang menolak penertiban tambak.

Adu mulut antara warga dan petugas yang mengoperasionalkan backhoe pun tidak terhindarkan. Polisi langsung mengamankan warga yang nekat berdiri di badan alat berat itu.

Terjadi keributan dengan aksi saling dorong. Namun aksi tersebut tidak berlangsung lama. Warga kalah jumlah dengan aparat keamanan. “Tidak usah digusur, kami siap untuk pindah. Tetapi mohon lokasi relokasi disiapkan dulu,” ujar Bayu Puspo, seorang pemilik tambak.

Bayu menegaskan, apa yang dilakukan Pemkab Kulonprogo merupakan tindakan semena-mena. Menurutnya, jika ingin kawasan tambak dijadikan green belt, seharusnya melibatkan masyarakat.

Sebab, mitigasi bencana itu dilakukan juga untuk keselamatan dan kesejahteraan masyarakat. “UU 24 Tahun 2007 untuk mitigasi bencana harus mengedepankan kepentingan rakyat,” tegasnya.

Petambak lain, Hatmaji mengungkapkan hal senada. Pemkab harus mewujudkan janjinya terlebih dahulu untuk relokasi. Ia mengaku masih memiliki lima bidang tambak dengan luasan masing-masing 1.500 meter persegi. Tambak-tambak itu sudah kosong pasca panen sepekan lalu.

Dirinya ingin menebar benih lagi hingga relokasi itu dilakukan pemkab, namun khawatir tambak kosong miliknya ikut dibongkar paksa. Ia mencoba mempertahankan.

“Mana janji relokasi, sampai saat ini kabarnya justru ada penolakan warga di Banaran. Kami juga harus sewa dengan harga yang mahal,” ungkapnya.

Petambak lain, Ribut mengungkapkan, tambak miliknya baru saja ditebar dan kini usianya baru 30 hari. Ia mengaku sudah mengeluarkan modal hingga Rp 40 juta. Jika tambak diratakan paksa, ia jelas rugi.

“Sejak awal saya tidak tahu kalau wilayah sini akan ditertibkan. Modal juga saya pinjam dari bank. Saya berharap perataan tambak menunggu sampai panen udang yang sudah telanjur ditebar,” ucap pria asal Madura yang kini tinggal di Demen ini.

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kulonprogo Sudarno menyatakan, pihaknya sebenarnya sudah memberi kelonggaran waktu kepada petambak. Mereka ditunggu sampai panen, namun warga justru membandel dan menabur lagi. Pemkab harus menunggu sampai panen.

“Keseluruhan tambak yang akan diratakan 133 petak. Saat ini ada 62 yang masih isi, dan kami tunggu maksimal Desember,” tegasnya. (tom/laz)