HADIRNYA media sosial adalah salah satu bukti bahwa dunia kita tidak ada pembatas. Dalam hal komunikasi sejauh apapun bisa saling berinteraksi dengan suara atau pun virtual. Teknologi menawarkan kemudahan, kenyamanan bahkan kematian nalar para penggunanya.

Jari jemari manusia bisa menjelma sebagai iblis yang jahat dengan visi menghasut dan menghancurkan. Atau sebuah jari yang di miliki bisa menjadi malaikat yang penuh ketaatan dalam kebaikan. Dengan jari dan dukungan alat yang berukuran 5-6 cm (gawai) manusia bisa melakukan apapun sesuai kehendakanya.

‌Manusia bisa membangun negara, kemudian menghancurkan negara yang telah dibangun. Kita tahu Indonesia sudah merdeka dari para penjajah. Mungkin penjajah yang dimaksud adalah penjajah tradisional. Namun tidak dengan penjajah modern mereka berkeliaran di bumi Indonesia ini. Secara tidak sadar mungkin gawai ini lah senjata penjajah asing yang digunakan sebagai upaya mematikan nalar pikiran kita hari ini.

‌Jika para pahlawan dulu pandai dalam hal strategi perangnya, lantas hari ini dalam melawan penjajahan gaya baru ini kita bisa melawan dengan apa, strategi apa, atau mungkin kita memang sudah merasa merdeka. Jika memang kita tidak punya visi ke depan mungkin ini lah salah satu bentuk kematian.

‌Viral dan para Penyembah

‌Sebelum adanya gawai ketenangan dalam hidup lebih terjamin. Bagaimana tidak, kecemasan tidak membayangi pikiran. Namun berbeda dengan hari ini adanya gawai membuat dan menjadikan kita menjadi manusia yang penuh kecemasan. Gawai rusak, cemas, paket data internet, pulsa, chat tidak di balas, cemas.

Seolah gawai sudah jadi candu, hingga akhirnya yang terjadi adalah gawai membawa informasi yang banyak namun tidak dalam hal menambah pengetahuan. Berbeda lagi jika kita menggunakan gawai sebagai alat untuk menambah wawasan cakrawala ilmu pengetahuan. Tetapi sekarang yang terjadi adalah kita gampang menerima tanpa mempertanyakan kembali informasi yang di dapat. Akhirnya ujaran kebencian, sumbu perpecahan pun bertebaran dijagad media sosial ini.

‌Sebuah perkara kecil bisa menjadi besar dengan adanya jari dan gawai tersebut. Contohnya saja sesuatu yang di viralkan seolah akan mengajak kita untuk mempercayai dan ikut aktif terhadapnya. Tanpa mempertanyakan ulang kebenarannya kita malah hanyut dalam keviralan tersebut. Hingga akhirnya kita masuk dalam kefanatikan tanpa dosa dan merasa paling benar. Dan itu yang sedang terjadi di negara Indonesia ini. Teknologi itu netral, ia bagaikan sebuah pisau, tergantung siapa yang menggunakannya. (ila)

*Penulis adalah Pemimpin Redaksi Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Amanat UIN Walisongo Semarang