PADA 2 November lalu, Risa Santoso mengukir pencapaian bersejarah. Di usia 27 tahun, dia dinobatkan sebagai rektor Institut ASIA Malang. Catatan tersebut tentu membanggakan.

Pada Senin (2/12), Jawa Pos berkesempatan mewawancarai alumnus University of California, Berkeley, dan Harvard University Graduate School of Education, AS, tersebut tepat sebulan masa jabatannya.

Risa menegaskan, dirinya layak ada di jabatan nomor satu di institusi yang menaungi Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) ASIA dan Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer (STMIK) ASIA tersebut.

Bagaimana kisah Risa berada di Institut ASIA Malang hingga dinobatkan menjadi rektor bulan lalu?

Saya udah di sini mulai Februari 2017. Awal-awal jadi tenaga pengajar. Selain itu, juga merangkap ketua Lembaga Penjaminan Mutu Internal (LPMI) untuk STIE-nya. Setelah itu, jadi direktur bidang pengembangan. Saat itulah, banyak program kerja sama dengan start-up dan komunitas.

Sebelum di Institut ASIA Malang, Risa pernah bekerja di Kantor Staf Presiden (KSP). Mengapa memutuskan pindah?

Sebagian karena alasan politik, pribadi buat saya. Selain itu, kerja di sana lebih ke advisory. Enggak kerja langsung di lapangan. Kita kerjanya dengan kementerian.

Karena posisinya sebagai penasihat, mereka yang menjalankan. Kami yang mengingatkan dan memantau. Setelah resign dari KSP, saya langsung pindah mengajar. Cuma jeda libur Sabtu-Minggu.

Apakah sempat membayangkan diri akan jadi pengajar, bahkan rektor?

Sebenarnya enggak ada bayangan seperti itu. Tapi dari dulu, mulai college sampai kuliah S-1 dan S-2, selalu berhubungan dengan kegiatan tutoring dan mengajar. Saya sempat ngajar di salah satu sekolah di Amerika Serikat, kelas V SD. Jadi, dari dulu mengajar sudah jadi bagian kegiatan saya.

Saat pertama mengajar sebagai dosen full time, ada persiapan khusus?

Persiapan lebih banyak ke bagaimana mengakali agar kelasnya enggak bikin bosen. Gimana agar materinya sampai di mahasiswa dan setelah kelas selesai mereka enggak lupa.

Ekspektasi saya, karena terbiasa di kultur perguruan tinggi luar negeri, semuanya tepat waktu. Profesional. Di sini, ada molor dan perpanjangan waktu karena tugas belum selesai.

Ada hal yang berkesan di momen kali pertama mengajar?

Saya dinilai terlalu cepat ketika ngomong. Saya sekarang sering dibilang, ’’Bu Risa sekarang ngomongnya lebih baik daripada yang dulu’’. Tempo bicara saya melambat, tapi jangan sampai lah tindakannya ikut melambat.

Apakah perbedaan setelah menjadi rektor dibandingkan dengan ketika masih menjadi dosen?

Bedanya, dulu yang kenal saya adalah yang interaksi dengan saya. Kalau sekarang, rasanya semua orang kenal. Di mana-mana. Selain itu, ketika misalnya ada masalah, sekarang lebih mudah mencari solusinya.

Sebab, jabatan strukturalnya lebih jelas. Program dan ide baru bisa diimplementasikan dengan lebih mudah. Dulu kan masih menunggu persetujuan atasan.

Bagaimana menanggapi isu tentang jabatan rektor yang ’’diwariskan’’ mengingat ayah Risa adalah pemilik yayasan?

Kepemilikan yayasan kan sebenarnya bukan monopoli orang-orang tertentu saja. Nama ayah saya pun enggak ada di yayasan. Hanya, beliau memang membantu mendirikan waktu itu.

Beliau sering diminta jadi pengisi acara di sini karena kebetulan profesi ayah saya yang pembicara. Mungkin, hal itu membuat banyak orang merasa yayasan ini punya ayah saya.

Menurut saya, selama kerja saya jelas, hasilnya jelas, (isu tersebut) bukan apa-apa. Orang bisa saja berpendapat sembarangan. Saya bukan anak ayah saya pun, pasti ada yang ngomongin, ’’Eh masih muda, terus gimana…’’ dan sebagainya.

Enggak usah dipedulikan. Saya enggak terlalu membaca isu-isu seperti itu. Itu bukan sesuatu untuk didiskusikan atau dibahas. Biar hasil kerja saya yang menjawab.

Salah satu kebijakan Risa yang paling menonjol adalah lulus tanpa skripsi. Bagaimana awal idenya?

Dari dulu, saya personally tidak ingin ada skripsi. Karena dari pengalaman saya selama studi, saya lulus enggak pakai skripsi. Skripsi kan bagaimana kita bisa menunjukkan output yang jelas dari belajar kita selama empat tahun.

Menurut saya, hal itu tidak selalu diwujudkan dalam bentuk skripsi, yang basic-nya riset. Kan enggak semua mahasiswa berorientasi atau ingin jadi periset nanti.

Mungkin, skripsi bisa dialihkan jadi proyek yang mendukung mereka saat kerja. Bisa jadi bagian portofolio mereka. Kita melihat kemampuan mahasiswa enggak dari skripsi saja.

Apakah ada target tertentu yang ingin dicapai di posisi rektor?

Targetnya banyak, pusing saya. Salah satunya kerja sama double degree. Kerja sama dengan kampus lain yang bisa mendukung pengalaman mahasiswa. Orientasi saya, mahasiswa bisa merasakan pengalaman di luar negeri.

Sebab, kondisi di sana berbeda dengan di sini. Perlu adaptasi dan usaha lebih. Lebih sulit juga karena mereka harus menjalin jejaring baru untuk kerja dan lain-lain. Makanya, kami berusaha menjembatani hal itu.

TENTANG RISA DAN KARIRNYA

  • Di dua tahun pertama berhasil mengadakan event Hackathon, kerja sama dengan komunitas-komunitas.
  • Menjalin kerja sama dengan perguruan tinggi di Asia Tenggara untuk program magang kerja.
  • Mengadakan program akselerator, kerja sama dengan start-up. Tujuannya, menyiapkan start-up yang telah berjalan agar siap diinvestasikan.
  • Ingin menghapus skripsi, diganti dengan proyek lain. Misalnya, merancang business plan.
  • Kini aktif menjalin rekanan dengan lembaga pendidikan, perusahaan, maupun organisasi lain. Targetnya, dalam waktu dekat, mahasiswa bisa merasakan kemudahan dalam studi. Mulai melakukan pembayaran hingga melaksanakan magang.

ROLE MODEL RISA

WALI KOTA SURABAYA, TRI RISMAHARINI

”Dari kecil sampai SMA saya tinggal di Surabaya. Saya melihat, Surabaya dulu dan sekarang beda banget. Lebih cantik, asri. Lebih dijaga. Dan orang-orang merasakan, Bu Risma sangat care dengan kota yang dipimpinnya.”

MENTERI KEUANGAN, SRI MULYANI

”Keren. Beliau bisa menjadi seorang profesional, tapi tetap menjalankan peran sebagai istri dan ibu. Semuanya balancing out. Namanya enggak hanya besar di Indonesia, tapi juga di dunia. Beliau pernah jadi orang nomor satu di Bank Dunia.”

TRIVIA

  • Ingin mengubah kantor menjadi bernuansa kafe agar lebih santai dan bikin betah.
  • Mengalihkan waktu me time di akhir pekan. Dia sering bepergian, kumpul bersama teman, hingga menghadiri event.
  • Jika tidak terjun di dunia akademik, ingin membuka bisnis dengan barang yang nyata. Hingga kini belum kesampaian. Risa merasa kesulitan jika harus berfokus pada dua hal bersamaan.
  • Terus belajar mengatur waktu dan pekerjaan sehingga terhindar dari stres dan burnout symptoms.
  • Ingin melanjutkan studi doktoral. Bidang yang diinginkan, kultur organisasi dan adult learning.