MANUSIA dan tuntutan zaman era revolusi 4.0 merupakan suatu keniscayaan yang pasti terjadi dan selalu berkembang. Bagi mereka yang siap dan kompetitif, tentu bukan hal yang sulit untuk menaklukan tuntutan zaman baik dari aspek pendidikan, ekonomi, maupun sosial dan budaya. Namun, bagi mereka yang tidak mempersiapkan diri secara matang, pada akhirnya seringkali mengarah pada keadaan kalah bersaing, tersingkir, dan depresi.
Keadaan depresi misalnya, bahkan tidak jarang mengarah pada peluang terjadinya tindakan melukai diri sendiri/menghilangkan nyawa sendiri (bunuh diri). Dilansir dari pemberitaan media tahun 2019, World Health Organization (WHO) melaporkan setiap 40 detik terdapat satu orang yang melakukan bunuh diri di seluruh dunia. Kehilangan nyawa akibat bunuh diri bahkan lebih besar dibanding jumlah orang yang terbunuh dalam perang.
Setidaknya terdapat 800 ribu orang yang tercatat melakukan bunuh diri tiap tahunnya. Kasus bunuh diri menjadi penyebab utama kedua kematian dikalangan pemuda yang berusia antara 15 dan 29 tahun, setelah kecelakaan di jalan dan di kalangan remaja putri yang berusia 15 sampai 19 tahun itu adalah pembunuh terbesar kedua setelah saat kelahiran.
Laporan terbaru yang diterbitkan WHO menemukan bahwa negara-negara dengan pendapatan tinggi justru memiliki tingkat bunuh diri tertinggi antara tahun 2010 dan 2016. Negara-negara berpenghasilan tinggi juga memiliki tingkat bunuh diri tertinggi yaitu 11,5 per 100.000 orang. Adapun negara dengan angka bunuh diri tertinggi terjadi pada Lithuania sebesar 31,9 dan Rusia sebesar 31 pada tahun 2018 (katadata.com).
Lantas, bagaimana dengan di Indonesia ? Berdasarkan data yang dihimpun dari Data Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) dalam ourworldindata.org menunjukkan tingkat kematian karena bunuh diri per 100 ribu penduduk di Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir cenderung menurun. Namun, data 2015 hingga 2017 menunjukkan tingkat bunuh diri di Indonesia stabil di angka 3,07 orang per 100 ribu penduduk.
IHME mengelompokkan angka bunuh diri berdasarkan usia. Tingkat bunuh diri tertinggi di Indonesia terjadi pada penduduk berusia 70 tahun ke atas. Kendati demikian, tingkat bunuh diri pada usia 70 tahun ke atas pada 2017 menunjukkan penurunan untuk pertama kalinya selama sepuluh tahun terakhir. Tercatat pada 2017 angka bunuh diri pada usia 70 tahun ke atas berjumlah 8,09 orang per 100 ribu penduduk, lebih rendah dari tahun 2016 yang sebanyak 8,11 orang per 100 ribu penduduk.
Selanjutnya, tingkat kematian terendah selama sepuluh tahun terakhir terdapat pada penduduk usia 5-14 tahun di angka 0,18-0,19 orang per 100 ribu penduduk (katadata.com). Berdasarkan data-data tersebut, dapat disimpulkan bahwa upaya preventif/pencegahan masih harus menjadi prioritas melalui instrumen program kebijakan pencegahan upaya bunuh diri.
Terlebih lagi, pada era revolusi industri 4.0 seperti saat ini yang pada satu sisi dapat meningkatkan tekanan pada tiap-tiap individu. Namun di sisi lain harus mampu menjadi faktor pendukung untuk mampu menciptakan kebijakan pencegahan bunuh diri yang aplikatif, solutif, dan efektif. Tak kalah terpenting adalah mampu meminimalisir kasus bunuh diri di Indonesia.
Saat ini, Indonesia baru memiliki peraturan khusus tentang larangan membantu upaya bunuh diri atau mendorong upaya bunuh diri yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) untuk perbuatan bunuh diri diatur dalam Pasal 345 KUHP yang berbunyi : “Barang siapa dengan sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri menolongnya dengan perbuatannya itu atau memberi sarana kepadanya untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun kalau orang itu jadi bunuh diri”.
Pasal 345 KUHP ini pada dasarnya berisi melarang orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang dapat dimaksudkan mendorong orang lain untuk bunuh diri; melarang orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang ditujukan untuk menolong orang lain dalam melakukan bunuh diri; melarang orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang dapat dimaksudkan untuk memberikan sarana pada orang yang diketahui akan bunuh diri (hukumonline.com).
Pengintegrasian Alternatif Solusi
Saat ini dan dimasa depan, pemerintah pusat dan daerah maupun seluruh stakeholders yang berkepentingan diharapkan mampu menciptakan integrasi yang mapan agar kasus upaya bunuh diri di Indonesia dapat semakin menurun. Langkah pertama yang dapat ditempuh adalah dengan political will para pemimpin pusat maupun daerah dengan memperkuat dan mengintensifkan aturan perundang-undangan yang sudah ada, khususnya pasal 345 KUHP dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa kepada instansi-instansi terkait.
Upaya ini dilakukan dengan tujuan agar dapat memperdalam pemahaman pelaksana kebijakan sehingga mampu mentransformasikan pemahamannya dengan baik kepada kelompok masyarakat rentan melalui berbgai program inovatif yang lebih efektif dan tepat sasaran. Harapan dari upaya tersebut adalah kelompok masyarakat rentan tercerahkan dan mau merubah orientasi tentang masalah hidup dan sekaligus menurunkan tingkat depresi.
Kedua, di era revolusi 4.0 seperti saat ini sudah saatnya mulai mengembangkan aplikasi pencegahan bunuh diri yang komprehensif. Aplikasi tersebut tidak hanya terdapat fitur bantuan konsultasi terkait dengan masalah hidup/depresi, namun juga harus terdapat fitur peringatan dini upaya pencegahan bunuh diri yang dapat diakses oleh keluarga terdekat jika terdapat anggota keluarga yang sudah menunjukkan ciri-ciri depresi dan mengarah pada upaya bunuh diri.
Nantinya, peringatan tersebut dapat terhubung kepada masing-masing intansi terkait sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan sedini mungkin oleh aparatur pemerintah melalui proses konseling maupun evakuasi dan rehabilitasi ke tempat yang lebih aman dan menenangkan hingga keadaan membaik.
Ketiga, melalui instrumen kebijakan yang ada, harus ada hotline tiga digit (misal 123, 777, dst) yang mudah diakses oleh seluruh masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Marauke dan terhubung ke masing-masing instansi terkait sebagai upaya pencegahan darurat jika terdapat upaya bunuh diri. Upaya tersebut harus tetap dilakukan dalam rangka mempercepat respon sekaligus sebagai upaya antisipatif jika aplikasi pencegahan pada alternatif kedua terkendala masalah teknis lainnya.
Keempat, guna melengkapi alternatif solusi eksternal, peran keluarga dalam bentuk kepedulian, perhatian, dan kasih sayang menjadi upaya yang wajib tersedia dalam rangka meminimalisir upaya tindakan bunuh diri. Kepedulian keluarga dan pendekatan dari hati menjadi alternatif solusi internal paling mujarab dalam upaya pencegahan bunuh diri yang mungkin menimpa salah satu anggota keluarga.
Keempat alternatif solusi diatas, jika mampu diimplementasikan dalam suatu program kebijakan integratif dengan memanfaatkan perkembangan teknologi ala revolusi 4.0, besar harapan untuk mampu menjadi ujung tombak dalam upaya pencegahan dan meminimalisir upaya bunuh diri secara menyeluruh serta mampu membantu meningkatkan kualitas kesehatan jiwa masyarakat Indonesia. Semoga. (ila)
*Penulis merupakan Dosen Administrasi Publik UNISA Jogjakarta.