RADAR JOGJA – Fenomena musim penghujan rasa kemarau sedang terjadi di seluruh Pulau Jawa. Normalnya dalam musim ini awan cumulonimbus terlihat bergerombol. Namun sejak beberapa hari ini awan justru nyaris tidak tampak di langit. Cuaca cenderung cerah dan tak terjadi hujan.

Kepala Stasiun Klimatoligi (Staklim) BMKG Jogjakarta Reni Kraningtyas menuturkan penyebabnya karena anomali cuaca yang disebabkan adanya pola divergen angin. Dalam kondisi saat ini, angin justru menyebar. Alhasil angin penyebab hujan cumulonimbus tak terbentuk.

“Iya ada anomali cuaca yang disebabkan pola divergen angin. Normalnya memang terjadi hujan tapi selama beberapa hari ini justru cuacanya cerah,” jelasnya, Sabtu (18/1).

Reni merevisi hasil pengamatan sebelumnya. Bahwa disebutkan penyebab anomali cuaca adalah keberadaan Monsun Australia. Faktanya, penyebab cuaca cerah adalah pola divergen. Walau begitu fenomena ini tetap menjadi bagian dari anomali cuaca.

Staklim BMKG Jogjakarta memprediksi kondisi ini berlangsung hingga 21 Januari. Setelahnya cuaca diprediksi berangsur normal. Rintik hujan akan mulai turun ke bumi seiring terbentuknya cumulonimbus. Walau tidak sepenuhnya prediksi ini tepat.

Pantauan citra satelit Himawari, awan benar-benar menghilang. Terutama pada 17 dan 18 Januari. Tak hanya di wilayah Jogjakarta tapi sebagian besar Pulau Jawa. Sehingga kondisi ini hampir merata di seluruh wilayah.

“Prakiraan kami mulai normal kembali 21 Januari. Kondisi cuaca hujan kembali seperti hari-hari sebelumnya. Tapi akan tetap kami update untuk info terbarunya,” ujarnya.

Imbas cuaca cerah membuat tubuh terasa gerah. Tercatat suhu maksimum mencapai 32 derajat celcius. Sementara kelembaban udara minimum mencapai 53 persen. Kondisi inilah yang membuat udara terasa panas.

Reni menghimbau agar masyarakat tak perlu cemas. Langkah antisipasi dengan konsumsi cairan secukupnya untuk menghindari dehidrasi. Terutama bagi masyarakat yang beraktivitas luar ruangan. 

“Cuaca cerah menyebabkan radiasi matahari terutama yang diterima bumi lebih besar. Sehingga suhu udara terasa lebih panas. Paling terasa itu dehidrasi jika terpapar suhu panas cukup lama,” katanya. (dwi/tif)