KRISIS KEUANGAN melanda Hastina. Duryudana sebagai pemimpin tertinggi kerajaan bingung. Belum memiliki strategi bagaimana caranya mengatasi krisis yang sedang berlangsung di Hastina.
Sumber daya keuangan mulai menipis. Sumber-sumber keuangan yang ada sudah digunakan untuk menutupi hutang. Selama ini pemimpin Hastina hobi hutang. Pembiayaan yang diperoleh melalui hutang dimanfaatkan membangun fasilitas infrastruktur.
Kelihatan gagah memang. Berbagai proyek mercu suar berdiri megah. Publik dan kerajaan-kerajaan lain merasa kagum atas keberhasilan menuntaskan pembangunan secara fisik. Tampak di permukaan telah meraih sukses. Kaya raya. Bisa membangun infrastruktur fisik amat megah.
Sayangnya publik tidak paham. Proyek besar yang digarap oleh kerajaan Hastina diselenggarakan dengan pondasi rapuh. Bukan dengan uang sendiri. Tetapi hutang. Akhirnya kerajaan terjerat hutang. Jatuh tempo. Segala daya upaya harus dilakukan untuk memenuhi kewajiban membayar hutang.
Akibatnya ada goncangan. Pemasukan kerajaan. Berasal dari upeti rakyat. Keuntungan berdagang dengan kerajaan lain. Hampir semuanya tersedot membayar hutang.
Membayar hutang. Menjadikan aliran dana menjalankan aktifitas kerajaan menjadi tersendat. Pendanaan menggerakkan produktifitas masing-masing kegiatan tersumbat. Berbagai program yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan kawula alit mangkrak. Karena sudah tidak ada lagi dana yang dialokasikan ke sana.
Bahkan hal-hal yang paling mendasar tidak bisa ditunaikan dengan baik. Beberapa pos tunjangan yang menjadi hak punggawa sering terlambat dibayarkan oleh kerajaan. Hak punggawa yang sudah dijanjikan sebelumnya untuk meningkatkan kualias sumber daya punggawa tidak segera direalisasikan dan cenderung dibatasi oleh kebijakan pimpinan kerajaan Hastina.
Kondisi buruknya pengelolaan keuangan menjadi penanda kerajaan sedang mengalami krisis. Sayangnya raja Duryudana, punggawa kepercayaan raja, dan bala kurawa kerabatnya. Tidak merasakan sense of krisis. Menahkodai kapal besar kerajaan seperti ombak dalam keadaan tenang. Masih selaras dengan kebiasaan. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Orang-orang kepercayaan raja dan kerabat tega berfoya-foya menikmati fasilitas yang disediakan oleh kerajaan. Tidak ada kesadaran mengencangkan ikat pinggang mengelola dana seefektif mungkin. Namun dengan produktivitas tinggi. Mereka memanfaatkan anggaran seperti kerajaan dalam kondisi sehat. Padahal sejatinya kerajaan mengalami krisis keuangan.
Duryudana sebagai raja juga kurang greget. Duryudana masih menjalankan rutinitas pekerjaannya. Tidak ada upaya mengeluarkan kemampuan ekstra mengatasi krisis. Sebagai pemimpin tertinggi sekedar menyelesaikan pekerjaan yang bersifat administratif. Rajin membuka berbagai acara. Sambutannya datar. Tidak menggugah selera punggawa berjuang memperbaiki krisis.
Mestinya. Sebagai raja. Pimpinan puncak tertinggi kerajaan. Yang memiliki kuasa. Menjadi orang terdepan untuk menyelesaikan krisis. Raja menjadi dalang memainkan semua punggawa dan abdi berjibaku keluar dari jerat masalah.
Seharusnya raja menjadi penanggung jawab utama mengatasi krisis. Kalau perlu tidak berhenti mencari akar masalah. Tidak tenang tidur. Bila penyebab masalah krisis keuangan belum ditemukan penyebabnya. Raja perlu turun ke bawah. Sidak. Berada di akar rumput mendengarkan keluh kesah bawahan dan rakyat. Sesungguhnya sedang terjadi masalah apa di lapangan.
Langkah yang diambil untuk menemukan akar masalah, turun tangan langsung, dan terjun ke akar rumput dapat menjadi strategi menemukan problematika. Bila problematika sudah berhasil dirumuskan dari hasil turun ke lapangan. Lalu dibikin kebijakan politis dari kerajaan untuk menyelesaikan masalah. Dan raja sebagai orang nomer satu bertanggung jawab memastikan kebijakan yang diluncurkan benar-benar diimplementasikan di kerajaan.
Sayangnya Duryudana tidak melakukannya. Atas bisikan Sengkuni dan Durna justru mencari kambing hitam menyalahkan orang lain. Terutama raja sebelumnya. Krisis berlangsung karena raja sebelumnya terlalu gegabah mengelola keuangan kerajaan. Dampak dari manajemen keuangan yang buruk di masa lalu yang menanggung dosanya adalah Duryudana. Duryudana menanggung beban sejarah masa lalu.
Sejarah pada masanya memang menunjukkan realitasnya. Duryudana sebagai raja mengalami proses yang cacat. Sesungguhnya Duryudana tidak memiliki hak menjadi raja. Legalitas tahta kerajaan sebenarnya berada di tangan Pandawa. Kerajaan yang diberikan hanya titipan. Kalau Pandawa sudah dewasa. Tahta kerajaan dikembalikan pada Pandawa.
Namun karena menjadi raja itu nikmat. Singgasana tidak kunjung diberikan pada Pandawa. Duryudana justru menggunakan aksi culas berusaha melenyapkan generasi Pandawa di muka bumi agar dirinya terus berkuasa.
Ambisinya terus bertahta membuat Duryudana lupa. Pemimpin hebat ujiannya adalah mampu mengatasi krisis kerajaan. Pemimpin tangguh memiliki kemampuan menahkodai kapal tahan terhadap terpaan ombak besar. Meski badai menghempas. Kapal tetap sampai tujuan.Pemimpin hebat dan tangguh tidak menimpakan kesalahan pada orang lain. Tidak mencari kambing hitam. Atas masalah yang menerpa kerajaan. (*)
*Penulis adalah dosen Fakultas Psikologi Universitas Ahmad Dahlan