SIAPA saja boleh berselancar di dunia maya. Aktif dengan media sosial (medsos). Tak terkecuali anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD). Apalagi di tahun politik seperti sekarang. Dewan bisa memanfaatkan medsos sebagai sarana pencitraan. Inilah yang tengah menjadi sorotan Badan Kehormatan (BK) DPRD Sleman.
Ketua BK DPRD Sleman Prasetyo Budi Utomo SSos mengimbau seluruh anggota dewan menggunakan medsos secara bijak. Meski penggunaan medsos bersifat pribadi, setidaknya bisa untuk mendukung tugas-tugas kedewanan. “Dewan jangan asal upload foto-foto pribadi saat kunjungan kerja,” ingat Pras, sapaan akrab politikus Partai Golkar itu, Selasa (12/3).
Prasetyo mewanti-wanti seluruh anggota DPRD Sleman untuk menjaga etika kedewanan. Termasuk dalam bermedsos. Dia mencontohkan saat agenda kunjungan kerja. Ekspose kegiatan kunjungan kerja harus ditonjolkan. Pun upload foto-foto kegiatan saat kunjungan. Lebih bagus lagi jika foto yang di-upload di medsos didukung narasi yang berkaitan dengan agenda kunjungan kerja. Sesuai tema, maksud, dan tujuan kunjungan kerja terkait.
Hasil dari kunjungan kerja tersebut juga tak kalah penting untuk diinformasikan via medsos. Foto-foto pribadi saat berwisata atau belanja di sela kunjungan kerja lebih baik tidak di-upload di medsos. “Itu kan tidak pas. Meskipun tak ada aturan atau larangan bermedsos dalam tata tertib dewan,” ungkap sosok kelahiran 14 November 1972 itu.
Prasetyo berharap seluruh koleganya bukan hanya bijak menggunakan medsos. Tapi juga lebih berhati-hati demi menjaga citra dewan sebagai wakil rakyat.
Menurut dia, unggahan foto di medsos bisa menjadi bahan pertanggungjawaban kinerja dewan bagi masyarakat. Khususnya terhadap konstituen. Bahwa kunjungan kerja ke luar daerah menjadi salah satu ketugasan dewan dalam rangka menjalankan amanat sebagai wakil rakyat. Di antaranya, studi banding, bimbingan teknis, atau konsultasi untuk menambah wawasan dan informasi terkait pembuatan produk hukum. Dengan begitu, sebelum produk hukum tersebut ditetapkan dan disosialisasikan, masyarakat sudah bisa mendapatkan informasi lebih cepat melalui akun medsos anggota dewan.
Secara prinsip, Prasetyo selaku ketua BK DPRD Sleman tak melarang koleganya bermedsos ria. Hanya, penggunaan medsos selayaknya disesuaikan dengan porsinya. “Etika dewan harus dijaga. Kalau pas kunjungan kerja ya ekspose kegiatan kunjungan itu. Bukan kegiatan lain yang bersifat pribadi,” pinta politikus asal Dusun Potrojayan, RT 01/RW 18, Madurejo, Prambanan, Sleman.
Di bagian lain, Prasetyo juga menyayangkan minimnya tingkat kehadiran dewan. Itu berdampak pada rapat-rapat kedewanan. Baik secara internal, maupun rapat eksternal yang melibatkan eksekutif atau masyarakat. Termasuk rapat-rapat di tingkat komisi, panitia khusus (pansus), dan rapat paripurna.
Minimnya tingkat kehadiran dewan membuat rapat-rapat kedewanan sulit mencapai kuorum. Sehingga penetapan keputusan sering tertunda. “Ini persoalan klasik sebenarnya. Rapat paripurna yang hadir kurang dari separo itu biasa,” bebernya.
Prasetyo tak henti-hentinya mengingatkan urgensi dan esensi rapat-rapat dewan. Itu penting. Demi kemaslahatan masyarakat. Berkaitan dengan pembuatan dokumen, hingga menentukan kebijakan. Juga untuk menampung usulan-usulan masyarakat.
Dikatakan, kegiatan kedewanan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD Provinsi, Kabupaten, dan Kota. Dalam hal ini tata tertib DPRD Sleman telah dituangkan dalam Peraturan DPRD Sleman Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan DPRD Kabupaten Sleman Nomor 1 Tahun 2010. “Aturan itu cukup tegas. Setiap rapat komisi pun harus kuorum. Kalau tidak, harus ditunda. Setiap keputusan atau produk hokum bisa jadi tidak sah jika ditetapkan dalam rapat yang tidak mencapai kuorum,” paparnya.
Berdasarkan tata tertib dewan, rapat penetapan produk hukum seperti rancangan peraturan daerah (raperda) membutuhkan sedikitnya 2/3 kehadiran dewan. Atau kurang lebih 34 orang dari total 50 anggota DPRD Sleman. Sedangkan pengesahan produk hukum tersebut harus mendapat persetujuan oleh minimal separo dari jumlah peserta rapat yang hadir. “Kurang dari jumlah itu, maka pengesahan raperda tak bisa dilakukan. Jika dipaksakan, produk hukum itu menjadi tidak sah alias ilegal,” jelas Prasetyo.
Diakui, agenda pribadi dewan kian sibuk hingga mendekati perhelatan Pileg 2019. Kendati demikian, Prasetyo mengimbau para koleganya untuk tetap mengingat tugas utama anggota DPRD. Dia mendorong seluruh anggota dewan bekerja sesuai tugas, pokok, dan fungsinya. Baik dalam hal pengawasan, legislasi daerah, dan penganggaran. “Meski harus nyaleg lagi, dewan tetap harus fokus. Jangan tinggalkan tugas utama sebagai wakil rakyat,” tuturnya.
Adapun persoalan klasik lain yang juga menjadi sorotan BK DPRD Sleman adalah tata cara berpakaian dewan. Tata cara berpakaian dewan juga telah diatur dalam tata tertib DPRD. Pada pasal 104.
Dalam rapat paripurna, misalnya. Pimpinan dan anggota DPRD menggunakan pakaian sipil harian jika tidak akan mengambil keputusan DPRD.
Pakaian sipil resmi dikenakan dalam rapat pengambilan keputusan. Sedangkan dalam rapat paripurna istimewa, baik pimpinan dan anggota DPRD mengenakan pakaian sipil lengkap dengan peci nasional. Sedangkan bagi dewan perempuan berpakaian nasional.
Saat kunjungan kerja atau peninjauan lapangan pun ada dress code yang harus dipatuhi. Mengenakan pakaian sipil harian atau dinas harian lengan panjang.
Seragam juga harus dilengkapi dengan lencana, tanda pengenal, sepatu hitam tertutup, kaus kaki, dan ikat pinggang. “Ketentuan ini berlaku bagi anggota dewan laki-laki. Bagi dewan perempuan menyesuaikan, tapi tetap pakai lencana dan tanda pengenal,” jelasnya.
Prasetyo menilai masih banyak anggota dewan Sleman yang tidak mengindahkan cara berpakaian dalam kegiatan-kegiatan resmi. Padahal, pengadaan seragam dewan dianggarkan melalui APBD. Untuk kebutuhan bahan. Plus ongkos jahitnya. Dewan tinggal memakainya sesuai agenda yang telah diatur dalam tata tertib. “Lha kalau pemakaian seragam saja nggak tertib, ke depan alokasi anggarannya mending dihapus saja,” pintanya.(*/yog)