JOGJA- Diam-diam Keraton Jogja menganulir keterangan salah seorang penghageng tepas (pejabat semacam kementerian) yang pernah disampaikan di depan sidang Pengadilan Negeri (PN) Jogja.
Penghageng Kawedanan Hageng (KHP) Panitrapura (Sekretaris Negara) Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Condrokirono menegaskan, kesaksian penghageng tanpa seizinnya dinyatakan tidak berlaku.
“Pemberian keterangan, kesaksian tanpa seizin penghageng Kawedanan Hageng Panitrapura terlebih dahulu dinyatakan batal demi hukum,” tulis Condrokirono dalam surat nomor 0161/KH.PP/Rejeb.II/BE 1952.2019 tertanggal 1 April 2019.
Pernyataan Condrokirono itu merujuk kejadian saat Penghageng Tepas Darah Dalem (silsilah keluarga kerajaan) KRT Harsadiningrat memberikan kesaksian di depan sidang perkara dugaan penggelapan asal usul trah GKR Pembayun dengan terdakwa Suwarsi dan kawan-kawan (dkk).
Suwarsi dkk serta penasihat hukumnya, Prihananto SH, menjadi terdakwa gara-gara laporan Adipati Paku Alam X ke Polda DIJ. Mereka dituduh menggelapkan asal usul dan menggunakan surat palsu camat Temon. Kejadiannya saat Suwarsi dkk memberikan kuasa kepada advokat Prihananto SH menggugat Paku Alam X dalam sengketa tanah bandara di Kulonprogo. Gugatan diajukan ke PN Wates dan PN Jogja.
Khawatir uang ganti rugi tanah bandara Rp 701 miliar jatuh ke tangan Suwarsi dkk, Paku Alam X memerintahkan Pengahageng Kawedanan Keprajan (Menteri Agraria) Kadipaten Pakualaman KPH Bayudono Suryoadinegoro mengadukan ke polisi.
Laporan Paku Alam X rupanya mujarab. Tak perlu banyak waktu, Polda DIJ bergerak cepat. Suwarsi dkk serta Prihananto diproses secara hukum. Sejak akhir Februari lalu perkaranya disidangkan di PN Jogja. Mereka juga ditahan di Rutan Wirogunan.
Nah, untuk memperkuat sangkaan Suwarsi dkk telah menggelapkan asal usul karena mengklaim keturunan GKR Pembayun, penyidik Polda DIJ memeriksa Penghageng Tepas Darah Dalem Keraton Jogja KRT Harsadiningrat.
Mantan bupati Gunungkidul yang sekarang bergelar KPH Mangunkusumo itu juga pernah didengar keterangannya di depan sidang PN Jogja. Keterangan Harsadiningrat itu dibutuhkan hakim karena Pembayun merupakan putri Raja Surakarta Susuhunan Paku Buwono X dengan Permaisuri GKR Emas. Nama kecil GKR Emas adalah Gusti Raden Ajeng (GRAj) Moersoerdarinah. Dia putri Sultan Hamengku Buwono VII dari permaisuri GKR Kencana II.
Tepas Darah Dalem pernah menerbitkan kekancingan (keputusan) terkait silsilah Pembayun. Keturunan Pembayun bukan Suwarsi dkk. Tapi Munier Tjakraningrat beserta empat saudaranya.
Suwarsi mengaku anak Pembayun bukan tanpa dasar. Dia memiliki bukti surat nazab nomor 127/D/III dari Raad Igama Surakarta atau Pengadilan Agama Surakarta 12 September 1943. Di nazab itu tertulis Pembayun, anak Paku Buwono X dengan GRAj Moersoedarinah. Keaslian nazab itu dikuatkan keterangan ahli mantan Ketua Pengadilan Tinggi Agama Jawa Tengah Wildan Suyudi Mustofa.
Untuk mematahkan keterangan Harsadiningrat, Sri Kalono SH Msi, salah seorang penasihat hukum Suwarsi dkk berupaya menghadirkan Sekretaris KHP Panitrapura KRT Gondohadiningrat ke persidangan. Statusnya sebagai ahli budaya Keraton Jogja.
Sri Kalono kemudian meminta izin kepada Condrokirono. Namun jawabannya tidak memberikan izin. Putri kedua Sultan Hamengku Buwono X itu beralasan setiap abdi dalem keraton tidak diizinkan memberikan keterangan maupun kesaksian kepada penyidik kepolisian dan pengadilan tanpa seizin dirinya sebagai penghageng KHP Panitrapura.
Di sisi lain, Koordinator Tim Penasihat Hukum Suwarsi dkk Bambang Hadi Supriyanto SH menilai surat penghageng KHP Panitrapura membuat terang. Sebab, terungkap keterangan Harsadiningrat di depan penyidik Polda DIJ maupun di pengadilan tanpa dilengkapi izin dari keraton. “Jadi harus dikesampingkan dan tidak pernah ada, karenanya batal demi hukum,” ucap Bambang menirukan bunyi surat Condrokirono, saat dihubungi, Minggu(14/4).
Surat dari Condrokirono itu rupanya menarik atensi Ketua Majelis Hakim Asep Permana SH. Dia sempat bertanya sosok dan umurnya. “Usianya berapa itu Condrokirono?” tanyanya kepada RM Dwidjojo Muljono, seorang kerabat keraton yang menjadi pengunjung sidang. Dia mendadak oleh hakim diminta masuk ke ruang sidang. “Kira-kira 40 tahun yang mulia,” jawab Dwidjojo.
Masih dalam perkara itu, advokat Prihananto SH yang menjadi terdakwa sembilan menolak dakwaan dan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). Pertimbangannya, dia menjalankan tugas sesuai UU No. 18 Tahun 2018 tentang advokat. Karena itu, menjadikan dirinya sebagai terdakwa merupakan tindakan sewenang-wenang.
“Bertentangan dengan UUD 1945, sepanjang tidak dimaknai advokat tidak dapat dituntut balik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan klien di dalam maupun di luar persidangan. Ini dikuatkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi No. 26/PUU-XI/2013, jo pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1956,” paparnya.
Dikatakan, saat menerima kuasa dari Suwarsi dkk, Prihananto merupakan advokat yang berstatus penegak hukum, bebas, dan mandiri. Sebagai penegak hukum, dia ingin mencerna kembali hak imunitas advokat sesuai pasal 16 UU No. 18 Tahun 2003. “Advokat tidak dapat dituntut secara perdata dan pidana saat menjalankan profesinya,” tegasnya. (kus/yog/mg2)