Bagi kelayan atau penghuni Rumah Pelayanan Sosial Lanjut Usia (RPLU) Budi Dharma Jogjakarta, bisa merayakan hari raya bersama teman-teman sudah merupakan kebahagiaan. Karena mereka sudah tak memiliki sanak saudara.
WINDA ATIKA/HERY KURNIAWAN, Jogja
Suasana tenang dan sejuk langsung terasa saat Radar Jogja memasuki area RPLU Budi Dharma Sabtu siang (8/6). Rindangnya pepohonan dan banyaknya suara indah dari burung-burung yang dipelihara menjadi penyebabnya.
Saat kami masuk,ada beberapa lansia yang tengah bersantai menyambut. Salah satunya adalah, Siti Daroyah. Setelah mempersilahkan duduk, dia kemudian menceritakan pengalamannya berhari raya di panti yang terletak di Jalan Ponggahan tersebut.
“Saya hanya punya satu anak mas, dan dia di Jakarta, dan saya tidak enak kalau harus numpang dirumah saudara,” begitu kata Siti menceritakan tentang latar belakangnya.
Siti mengaku sudah terbiasa berlebran tanpa didampingi oleh anak ataupun sanak saudara. Bahkan, perempuan 81 tahun itu menyatakan terakhir kali bertemu dengan sang anak, pada 2005 yang lalu. Tapi dia, menikmati hari-hari senjanya di sana. “Di sini banyak teman dan ada yang ngurusin saya,” begitu katanya.
Hal yang sama juga dirasakan Suhartini. Sambil bersih-bersih ruangan tempat tidurnya, Suhartini melempar senyum. Pada momen lebaran ini dia tetap beraktivitas seperti biasa di RPLU Budi Dharma, Jogjakarta kemarin. Dia memilih tetap tinggal di sana selama lebaran. “Kulo mboten wangsul mboten gadah griyo,” ungkapnya dengan nada datar.
Tak ada raut kesedihan, meski di hari raya ini dia jauh dari keluarga besarnya. Justru dia mengaku senang karena banyak teman di rumah pelayanan. “Daripada saya pulang mendingan saya di sini, ibadah salat dan membantu teman yang lain,” ungkapnya.
Simbah 72 tahun itu, mengaku paling tidak tiap satu bulan sekali rutin mendapat kunjungan dari sanak saudaranya.
Pilihan berlebaran di panti sosial di wilayah Ponggalan Giwangan Umbulharjo Jogja itu juga diambil Ponirah. Meski berasal dari Kotagede, yang dekat dengan panti dan juga rutin mendapat kunjungan dari sanak saudaranya satu bulan sekali. Tapi dia mengatakan tidak menginginkan mudik saat lebaran.
“Tinggal ada kakak dan adik saja, mereka juga sibuk bersama keluarganya masing-masing,” tuturnya sambil menyeka air matanya yang turun.
Sebenarnya nenek 71 tahun itu memiliki dua anak. Tapi mereka sudah berkeluarga dan tinggal di luar Kota. “Yang penting kalau saya itu ibadah salat ied-nya saja, kalau mudik itu nomor dua,” ungkapnya dengan menahan rasa haru.
Karena itu nenek empat cucu itu memilih tidak mudik saat lebaran dan tinggal di UPT bersama kelayan lainnya. Apalagi dia sudah merasa nyaman ketika harus tidak mudik dan tinggal di rumah pelayananan. “Ya disini ada yang ngerawat seneng to, kalau pulang takut ngrepotin yang lain,” katanya terbata-bata.
Tapi dari 61 kelayan yang ada di sana, tahun ini ada 12 yang mengajukan mudik saat lebaran. Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) RPLU Budi Dharma Jogja Hery Supriyanto menyebut, dari 61 kelayan ini hanya sebagian kecil yang masih memiliki keluarga. Meski bukan keluarga inti. Para kelayan tersebut dari beragam usia di atas 60 tahun.
Kata dia, jumlah waktu mudik ini diberikan sudah sesuai prosedur secara maksimal. Artinya tidak bisa melebihi dari waktu yang ditentukan. Itu untuk mengantisipasi para kelayan yang mudik lebaran ini agar tetap terurus.
“Kalau tinggal di rumah saudaranya, ya kalau ada tempat tidur, kalau seadanya saja bagaimana mereka nnti apa bisa keurus di sana,” tambahnya.
Tapi meski akan merayakan Idul Fitri di panti, para kelayan tetap akan didampingi para perawat. Selain itu, lanjut dia, biasanya ada keluarga yang datang berkunjung membawakan makanan. Tak jarang pula ada masyarakat yang bersimpati dan merayakan lebaran bersama kelayan di panti.
Salah satu perawat yang selalu siaga adalah Sujito. Sambil tersenyum dia menceritakan pengalamannya mengasuh para orang tua biasanya kembali lagi bertingkah laku seperti anak-anak.“Ya harus sabar mas, namanya ngopeni orang tua ya seperti itu,” katanya.
Tapi bekerja di RPLU Budi Dharma mengingatkannya tentang banyak hal. Tentang bagaimana harus mengurus orang tua yang sudah tidak berdaya lagi dengan baik. Juga, lanjut dia, untuk mengingatkan semua bahwa nanti mungkin juga akan berakhir di panti seperti para kelayan tersebut .
“Mereka di sini dilayani 24 jam penuh dari kebutuhan makanan, kesehatan, dan keagamaannya kami layani semua. Sekali makan dengan budget Rp 10 ribu sehari tiga kali makan,” jelas Hery. (pra/fj)