RADAR JOGJA – Sungguh miris. Perpustakaan yang harusnya berisi buku-buku si jendela dunia. Malah harus berubah jadi gudang penyimpanan. Bagaimana pengetahuan bisa diakses di tempat itu. Itulah penampakan perpustaakan di Balai Budaya Minomartani, Ngaglik.
Ruangan berukuran 4×3,5 meter itu kondisinya penuh debu. Sarang laba-laba dimana-mana. Benda yang tidak ada hubungannya dengan perpustakaan ikut nimbrung tersimpan di ruangan tersebut. Memprihatinkan.
Dari pantauan Radar Jogja, di ruangan sempit itu ada contra bass, kasur, alat masak dan perkakas lain. Kendati demikian, bentuk perpustakaan masih nampak.
Seperti masih adanya koleksi buku yang ditaruh pada enam rak buku. Walaupun nampak tidak terawat. Selain itu, ada satu unit komputer dan printer yang nampak jarang dijamah.
Suparno, 42, warga Minomartani mengatakan perpustakaan itu sudah ada sejak belasan tahun lalu. Dulunya perpustakaan itu ramai dikunjungi masyarakat. “Sekarang tidak lagi,” tuturnya.
Barang-barang yang berjejal di ruangan itu menurutnya karena baru ada proyek pembangunan. Jadi sebagian barang terpaksa dimasukkan ke perpustakaan. Dia menuturkan, sudah sejak beberapa tahun terakhir tidak ada yang mengurus perpustakaan.
Dulunya perpustakaan dikelola secara swadaya oleh masyarakat. “Tapi makin ke sini, makin jarang yang memanfaatkan perpustakaan,” katanya. Tidak bervariasinya koleksi buku disebutnya menjadi penyebab sepinya pengunjung.
Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Sleman Ayu Laksmi Dewi mengakui belum meratanya perkembangan literasi di Sleman. Dinas, juga tidak bisa berbuat banyak untuk membantu. Alasanya klasik. Lantaran terbentur minimnya anggaran.
“Memang perpustakaan belum menjadi bidang prioritas daerah. Tapi kami tetap memberikan bantuan,” ujar Ayu.
Saat ini, seluruh desa di Sleman sudah memiliki perpustakaan desa (perpusdes). Namun dari 86 desa itu baru 16 desa yang perpustakaannya ‘’hidup’’. Di antaranya Perpusdes Balecatur (Gamping), Sumberharjo (Prambanan), Widodomartani (Ngemplak), Banyurejo (Tempel), Sidokarto (Godean), dan Margokaton (Seyegan).
Menurut Ayu, untuk membuat perpustakaan hidup diperlukan komitmen semua pihak. Termasuk komitmen desa mengelola dan mengalokasikan dana. Dari 16 perpusdes yang telah aktif, baru tiga yang terakreditasi.
Koleksi buku di perpusdes juga harus disesuaikan kondisi sosial masyarakat. Misalnya, daerah itu kaya potensi perikanan, maka referensi buku bidang perikanan harus diperbanyak.
Dia mengakui jika era digital banyak yang mulai meninggalkan buku. Namun, dia tetap optimistis dengan keberlangsungan perpustakaan. Selama masyarakat juga mengubah pola pikir. Tidak lagi menganggap perpustakaan hanya menjadi tempat untuk membaca.
“Tidak, perpustakaan bukan lagi ‘harap tenang ini perpustakaan’. Tidak seperti itu, perpustakaan bisa digunakan untuk berbagai hal, sehingga kreativitas bisa muncul dan menelurkan karya yang punya banyak manfaat,” jelasnya. (har/riz)