FILM ini terinspirasi dari sebuah kejadian nyata, yakni tentang terbongkarnya pelecehan seksual yang dilakukan oleh produser Fox News. Kasus ini mencuat ketika masyarakat AS sedang hangat-hangatnya dalam suhu politik pilpres 2016. Sebagai info tambahan, saat itu jaringan Fox terindikasi pro-Trump.
Info tambahan inilah yang sayangnya menjadi biang keladi atas inkoherensi plot film ini karena ia menjadi pecutan awal film yang cukup memerahkan kulit. Film ini dibuka dengan fragmen tentang bagaimana Trump dilempari pertanyaan yang sangat berhubungan dengan sisi seksisme yang terindikasi diidapnya oleh seorang pembawa acara cewek senior di Fox. Setelah ini, film lantas secara perlahan mulai lepas dari pembahasannya dengan Trump.
Yang jadi cerita berikutnya dan terutama adalah bagaimana seksisme telah terjadi lama di dalam tubuh Fox. Salah satu pembawa acara cewek senior dipecat. Dialah yang berani menuntut produser mesum Fox untuk pertama kalinya dalam sejarah tuntutan terhadap Fox. Yang menjadi persoalan berikutnya adalah tanpa adanya (diduga ketersediaan) kesaksian korban lainnya maka tuntutan ini tak lain hanyalah terbaca sebagai amukan dendam emosional seorang pegawai yang baru saja dipecat.
Film ini meski berpresentasi interaktif , termasuk penggunaan gaya breaking the fourth wall: karakter plot berbicara langsung ke penonton. Film ini mencekoki sejumlah informasi spesifik tapi tetap saja nyaman diikuti karena cakupan persoalannya terbilang bersahabat yakni satu perusahaan, dengan kasus yang diangkat bersifat sangat spesifik. Beberapa adegannya efektif, tanpa perlu dramatis. Satu adegannya ketika merekonstruksi si “predator” sedang memangsa “korban”-nya sungguh membuat kita memaklumi level kebejatan yang sudah tak bs ditoleransi.
Dibintangi tiga aktris bereputasi top, Charlize Theron, Nicole Kidman, dan Margot Robbie, film ini makin terasa lezat disimak berkat pemeranan mereka bertiga yang baik. Sayangnya skrip tak mengizinkan mereka untuk lebih bersinar,lebih-lebih untuk karakter yang diperankan oleh Nicole Kidman. Momen-momen personal kurang diangkat oleh strada film ini. Selain itu, aliran adegan per adegannya tak mulus sempurna. Di beberapa tempat terasa betul melompat-lompat.
Memang film ini sangat spesifik cakupannya,bahkan bisa dibilang sempit karena fokusnya hanya pada satu kasus dalam industri pertelevisian AS dan tidak menimpa atau memakan korban di luar atap perusahaan itu. Cakupan ini potensial membuat penonton merasa kurang bisa menikmati karena faktor relevansi konteksnya. Kalau penonton terbuka untuk menangkap semangat resistensinya yang tersampaikan secara implisit, film ini bisa terasa seperti menyuguhkan keseruan adegan aksi Charlie’s Angels,namun lewat “baju” lain: pergulatan batin, investigasi, dan argumentasi. (ila)
*Penulis adalah penggemar film dalam negeri dan penikmat The Chemical Brothers yang bermukim di Jogja Utara