RADAR JOGJA – Sambutan hangat menyapa saat Raja Willem Alexander dan Ratu Maxima Zorreguieta Cerruti saat mengunjungi Kampoeng Cyber Jogjakarta, Rabu (11/3). Pemegang tampuk kepemimpinan Kerajaan Belanda ini tiba di Kampung Taman, Patehan, Kraton pukul 13.15. Keduanya langsung melihat-lihat sentra batik di kawasan Tamansari tersebut.
Langkah kaki sang raja dan ratu terhenti di galeri batik Lok Iwon. Perbincangan singkat sempat terjadi antara Raja Willem Alexander dan pemilik galeri Iwan Setiawan. Mulai dari sejarah kampung hingga usaha yang ditekuni Iwan.

“Apakah kamu memasarkan batik ini lewat internet? Lalu semua batik ini dibuat dengan handmade?” tanya Raja Willem kepada Iwan.

Raja Willem dan Ratu Maxima menyempatkan diri melihat proses pembuatan batik tulis. Sesekali mereka bertanya tentang proses pembuatan. Selang waktu lima menit, keduanya berpamitan untuk menuju kampus UGM Jogjakarta.

Iwan Setiawan masih tak menyangka seorang Raja dan Ratu Belanda akan mendatangi galerinya. Detak jantung pria yang akrab disapa Lok Iwon inipun masih berdegub kencang. Genggaman tangannya terasa dingin saat bersalaman dengan Radar Jogja.

“Iya mas masih deg-deg’an, tangan masih dingin ini. Baru pertama ini ketamuan bangsawan dari Belanda,” katanya.

Sebelum kedatangannya, Raja Willem telah memesan kemeja batik kepada Lok Iwon. Iwan menuturkan tak ada motif khusus untuk batik sang raja. Raja Willem mempercayakan sepenuhnya kepada Iwan. Kepercayaan ini menjadi tantangan tersendiri baginya dalam berkarya.

“Tidak ada pesanan khusus, beliau (Raja Willem) percaya dengan karya corak batik saya. Ini yang membuat saya semangat membuat batik khusus untuk Raja Belanda,” ujarnya.

Iwan mulai berbicara tentang motif. Karya-karya miliknya berkiblat pada gaya klasik kontemporer. Terlihat dari setiap goresan canting ke kain. Pada dasarnya Iwan tetap mempertahankan ragam motif klasik. Hanya saja ada kombinasi motif dan warna kekinian.

Ini yang tercermin dalam baju batik pesanan sang raja. Beragam motif batik klasik dia usung dalam pakaian tersebut. Mulai dari corak Kawung, Parang Rusak hingga Truntum. Seluruhnya terkombinasi apik dalam goresan-goresan ekspresionis.

Untuk pewarna, Iwan menggunakan indigosol dari Jerman. Pemilihan bahan baku ini memiliki alasan tersendiri. Selain kuatnya warna juga keawetan warna. Bahkan warna dari batik akan lebih mentereng saat terpapar sinar matahari.

“Klasiknya tetap saya pertahankan sebagai ciri khas utama. Kalau gaya kontemporernya dari gerakan ekspresif. Liukan canting lalu pakai kuas sampai centong dalam menorehkan lilin malam di permukaan kain,” kata pria kelahiran 11 Desember 1972 ini.

Proses pembuatan batik sang raja terbilang singkat. Untuk satu baju dia selesaikan dalam lima hari. Proses ini mulai dari penggoresan motif, pengaplikasian malam, pewarnaan hingga menjadi baju. Satu hari pengerjaan membutuhkan waktu lima hingga enam jam.

Tak ada ritual khusus dalam merampungkan pesanan ini. Iwan mengaku hanya membutuhkan fokus lebih. Ini karena pemesannya adalah orang yang sangat khusus. Bahkan saat ditanya harga, Iwan awalnya tak ingin pasang tarif.

“Kalau harga saya pasang tarif normal, Rp 950 ribu untuk mbatik sampai jadi baju jadi. Saya optimis ini bisa jadi ajang promo batik Jogjakarta khususnya Tamansari ke luar negeri,” ujarnya. (dwi/tif)